Jumat, 18 September 2009

Mengintegrasikan Peran Televisi untuk Pendidikan Indonesia

Naskah ini pernah diterbitkan di Jurnal Aksi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik - Universitas Indonesia
edisi Januari-Februari-Maret 2005


Ahmed Kurnia Soeriawidjaja

Ketika budaya baca masyarakat Indonesia belum lagi tumbuh yang ditandai dengan masih tingginya angka buta huruf, media televisi dan radio sudah muncul bak cendawan di musim hujan. Banyak pihak menilai fenomena ini mengkhawatirkan karena akan mendorong penguatan budaya lisan. Perlu langkah afirmatif untuk menggunakan media visual sebagai alat meningkatkan kualitas masyarakat kita.

Kualitas manusia Indonesia ternyata menyedihkan. Lihat saja laporan terbaru yang dikeluarkan lembaga Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) tahun 2004 lalu, yang menempatkan posisi Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI) di Indonesia pada urutan 111 dari 175 negara. Posisi ini sangat jauh tertinggal di belakang, jika dibanding negara-negara tetangga seperti Malaysia (peringkat 59), Thailand (76) dan Filipina (83). Di kawasan Asian Tenggara, Indonesia hanya setingkat di atas Vietnam (118).

Dalam perhitungan peringkat HDI sebuah negara, UNDP melihat pada tiga komponen, yakni indeks pendidikan, indeks kesehatan dan indeks ekonomi. Khusus untuk indeks pendidikan, terdapat dua indikator. Yaitu, angka melek huruf orang dewasa dan rata-rata lama pendidikan.

Indikator melek huruf di Indonesia lumayan jeblok. Buta huruf masih merupakan persoalan serius dan memerlukan penanganan yang khusus. Menurut laporan Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) Depdiknas, pada 2003 di Indonesia masih terdapat 15,41 juta atau 10,21 persen penduduk usia 15 tahun ke atas buta aksara – kendati hal ini masih lebih baik daripada negara berkembang lainya yang rata-rata jauh di atas 10 persen penduduknya masih buta huruf. Tapi, kalau persoalan buta huruf di negara ini tidak diatasi dengan segera, jelas bakal menjadi hambatan yang berdampak pada pembangunan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Tidak heran Kabinet Indonesia Bersatu (kabinet yang dipimpin Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono) mematok target: pada tahun 2009 penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang buta huruf, akan menjadi tinggal lima persen. Artinya target total orang yang dientaskan supaya bisa baca tulis mencapai 14 juta orang, atau 2,8 juta orang jadi melek huruf per tahunnya. Sebuah target yang ambisius mengingat selama ini, Pemerintah baru bisa mengentaskan orang supaya melek huruf kurang dari 200.000 rata-rata per tahunnya.

Persoalan lain yang juga dihadapi adalah, kendati di Indonesia secara statistik yang melek hurufnya cukup tinggi dibanding negara berkembang lainnya, namun tak berarti mereka bisa memanfaatkan kemampuan baca tulisnya itu secara maksimal. Inilah yang disebut Daniel Dhakidae, pengamat sosial kemasyarakatan, sebagai kemampuan baca tulisan sebagian besar masyarakat Indonesia masih pada tahap technical alphabetism, belum mencapai tahap functional alphabetism. Artinya, orang melek huruf hanya mampu sebatas teknis menulis dan membaca. Mereka belum dapat mengolah informasi dalam bentuk teks (tertulis) tersebut untuk mengindentifikasi masalah sehari-hari dan meningkatkan pengetahuan yang berakibat pada peningkatan kesejahteraan (inilah yang disebut dengan functional alphabetism). Misalnya, hingga kini para petani di Indonesia masih saja mengandalkan informasi lisan dari tenaga penyuluh – dan tidak mampu dan sekaligus tidak mau memanfaatkan informasi lain tentang pertanian dalam bentuk tertulis.

Bebas buta huruf memang tidak bisa hanya ditafsirkan sebagai kemampuan untuk baca tulis dan mengeja semata (technical alphabetism). Keadaan bebas buta huruf menjadi bermakna kalau masyarakat sudah mencapai tingkat kemampuan membaca dan menulis secara fungsional (functional alphabetism).

Minat baca dalam masyarakat Indonesia menunjukkan gejala yang memprihatinkan. Boleh jadi karena budaya lisan tampaknya kini lebih berkembang ketimbang budaya baca tulis. Salah satu fenomena yang mendukung gejala maraknya budaya lisan adalah terus bertambahnya jumlah stasiun televisi. Beberapa di antaranya menayangkan siaran non-stop 24 jam. Begitu juga stasiun radio yang terus menjamur jumlahnya, dan hebatnya lagi sebagian juga tak mau kalah, siaran non-stop 24 jam. Kalau tak ada peminatnya, tentu mereka tak akan mengudara non-stop.

Coba tanya pakar atau pengamat, lebih suka yang mana: menulis kolom atau diwawancarai? Pasti mereka memilih yang kedua. Karena lebih mudah, dan yang pasti bakal lebih ngetop kalau diwawancarai wartawan televisi atau radio.

Kini tercatat lebih dari 1.000 stasiun radio yang beroperasi di Indonesia. Padahal, tahun 2002 lalu masih tercatat 865 stasiun radio. Begitu pula jumlah stasiun televisi yang terus bertambah. Kalau dulu, kita cuma mengenal TVRI, sekarang selain stasiun televisi milik pemerintah itu, juga ada 11 stasiun televisi swasta: TVRI, TPI, RCTI, SCTV, Anteve, Indosiar, Metro TV, Trans TV, TV7, Lativi dan Global TV. Belum lagi siaran televisi yang mengudara melalui satelit.

Tak cuma itu, televisi lokal di beberapa kota besar Indonesia terus bermunculan. Tahukah Anda di Manado ada empat stasiun televisi swasta? Di Semarang juga tak lama lagi bakal mengudara empat stasiun televisi lokal milik swasta. Bahkan di Papua saja sudah berdiri stasiun televisi lokal. Belum lagi televisi milik pemerintah daerah –dengan mengibarkan semangat otonomi – yang tersebar di berbagai pelosok. Jumlah stasiun televisi lokal diperkirakan lebih dari 50. Jumlah ini masih di tambah lagi dengan 11 stasiun televisi nasional yang sudah lebih dulu ada.

Lalu bagaimana dengan media cetak di Indonesia? Saat ini, ditaksir oplah seluruh Koran yang beredar di Indonesia hanya sekitar tiga persen dari jumlah penduduk yang ada. Padahal, menurut UNESCO, indeks ukuran maju tidaknya sebuah negara dapat dilihat dari koran yang beredar – minimal sekitar 10 persen dari jumlah total penduduknya. Sementara di negara industri yang sudah maju, tiras korannya mencapai lebih dari 30 persen dari jumlah penduduknya. Jadi, kalau memakai ukuran UNESCO, Indonesia masih jauh di bawah standar sebuah negara yang maju.

Data lain juga menunjukkan bahwa tiras Koran di Indonesia mengalami penurunan yang lumayan signifikan. Laporan kongres Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) di Jakarta tahun lalu memperlihatkan justru terjadi penyusutan tiras seluruh koran yang terbit di Indonesia. Ironisnya, penurunan tiras koran ini justru berlangsung di tengah euphoria kebebasan pers. Sejak tahun 1998, untuk menerbitkan suratkabar tak perlu lagi izin. Siapa saja, kalau punya sumber daya, termasuk dana tentunya, dan berbadan hukum, bisa menerbitkan koran. Dan memang koran baru banyak bermunculan. Tapi pada saat yang hampir bersamaan banyak pula koran yang tak dapat meneruskan penerbitannya. Entah karena memang pembacanya yang tidak ada (maka korannya tidak laku), atau karena salah urus (mismanagement). Namun yang pasti media-media cetak yang sudah mapan dan punya sejarah yang panjang, di tengah euphoria kebebasan pers, tetap tak dapat mendongkrak tirasnya. Paling banyak oplah koran papan atas yang berpengaruh (media mainstream) yang terbit di Indonesia hanya sekitar 500 ribu setiap harinya. Sementara penduduk Jakarta saja sudah mencapai sekitar 8 juta jiwa. Bandingkan misalnya, dengan oplah koran Yomiuri Shimbun yang terbit di Jepang yang mencapai 12 juta eksemplar setiap harinya. Atau oplah sebuah koran di Amerika Serikat atau Jerman yang juga mencapai jutaan eksemplarnya setiap terbit.

Media cetak, khususnya koran, memang cenderung tak lagi menjadi sumber informasi yang handal di negeri ini. Banyak penelitian memperlihatkan bahwa media elektronik, yaitu televisi dan radio, menjadi acuan informasi bagi masyarakat. Menurut perkiraan, di negeri ini ada lebih dari 30 juta pesawat televisi, yang rata-rata untuk setiap pesawat televisi ditonton oleh lima orang. Berarti ada sekitar 150 juta penduduk Indonesia, atau sekitar 70 persen dari total penduduk, yang menonton (dan mendapat informasi) dari televisi. Sedangkan, mereka yang memperoleh informasi dari media cetak, diduga hanya sekitar 10 persen dari jumlah penduduk Indonesia.

Pada tahun 1977, total tiras semua Koran yang terbit di Indonesia mencapai sekitar 5,1 juta eksemplar. Pada tahun 2000 – ketika pers bebas berlangsung – total tirasnya malah susut menjadi 4,7 eksemplar. Maka ratio satu surat kabar yang tadinya diasumsikan dibaca oleh 40 orang, dalam tiga tahun menjadi 1:42 orang. Di tahun 2005 ini, tampaknya asumsi itu tak jauh berbeda.

Fenomena di atas setidaknya menunjukkan bahwa minat baca di negeri ini memang rendah sekali. Bahkan, boleh dikata sangat memprihatinkan! Lihat kondisi perpustakaan umum yang ada, sangat menyedihkan. Perpustakaan HB Jasin di Jakarta atau Perpustakaan Bung Hatta di Bukittinggi, karena sepi pengunjung, tak mendapatkan pemasukan (pendapatan) yang berbuntut kurang terawatnya koleksi buku. Jadi, alih-alih menambah koleksi buku, mempertahankan yang sudah ada saja sudah megap-megap kekurangan dana.

Padahal, membaca (dan juga menulis tentunya) adalah sebah kegiatan yang dapat merangsang orang aktif berpikir, mencerna secara reflektif dan kreatif. Aktivitas itu menuntut intensitas dan konsentrasi yang relatif lebih tinggi ketimbang menonton televisi atau mendengar radio.

Uraian di atas memperlihatkan betapa budaya lisan (dan dengar) lebih berkembang di masyarakat ketimbang budaya baca (dan tulis).

Kondisi ini jelas merupakan tantangan bagi Pemerintah dalam upaya memberantas buta huruf. Mereka yang melek huruf saja, ternyata diduga baru sebatas mampu baca tulis secara teknis (technical alphabetism), dan belum mencapai tahap baca-tulis secara fungsional (functional alphabetism). Jadi, angka statistik yang menunjukkan bahwa di Indonesia masih terdapat 15,41 juta atau hanya 10,21 persen penduduk usia 15 tahun ke atas yang buta aksara menjadi patut dipertanyakan. Bukan tak mungkin mereka yang buta huruf (dalam arti belum mencapai tahapan functional alpbabetism) lebih banyak lagi.

Sudah saatnya diperlukan sebuah suasana yang dapat mengkondisikan masyarakat supaya gemar membaca (dan menulis) dalam upaya memerangi buta huruf dan sekaligus mengimbangi budaya lisan (dan dengar) yang kini semakin mendominasi kehidupan sehari-hari. Tak dapat dipungkiri, media televisi telah begitu akrab dalam kehidupan sehari-hari.

Karena alasan itulah, di antara banyak pilihan cara, apa boleh buat, kenapa tidak memanfaatkan media televisi sebagai sarana pendidikan, termasuk kegiatan pendidikan membaca dan menulis? Tentu pilihan ini terasa seperti sebuah usaha yang paradoks. Mengembangkan budaya baca-tulis dengan memanfaatkan media yang berbasis budaya lisan-dengar.

Memanfaatkan Televisi Edukasi
Kesulitan utama yang dihadapi Pemerintah dalam mendongkrak HDI adalah minimnya sumber daya manusia, termasuk penyediaan guru atau tutor. Ditambah lagi dengan kondisi geografis bercorak kepulauan dan pegunungan, serta terbatasnya anggaran.

Hambatan tersebut memang bukan barang baru bagi Indonesia. Sesuatu yang sering jadi tumpuan alasan adalah tidak meratanya pendidikan. Dan akibatnya, kesejahteraan pun juga jadi tidak merata di negeri ini.

Untuk mengatasi keterbatasan penyediaan tutor, saat ini pemerintah telah merekrut sekitar 200 ribu calon pegawai negeri sipil dari 4 juta pelamar. Sebagian besar pegawai negeri baru ini nantinya akan menempati posisi sebagai guru pada jalur formal. Mereka akan disebar di berbagai wilayah di Indonesia.

Namun bagaimana dengan tantangan geografis, padahal jumlah guru yang ada masih jauh dari mencukupi. Sebenarnya pemanfaatan teknologi pembelajaran jarak jauh melalui siaran televisi bisa dijadikan solusi untuk mengatasinya. Apalagi saat ini tercatat sudah ada lebih dari 50 televisi lokal di seluruh Indonesia. Angka ini dipastikan akan berkembang setelah era televisi swasta nasional berakhir –seiring berlakunya UU No.32/2002 tentang Penyiaran – dan semangat otonomi daerah yang kian menggebu.

Pemerintah (melalui Depdiknas) memang tidak bisa bekerja sendiri untuk mendongkrak HDI Indonesia. Perlu ada kerja sama yang terkait di antara semua pihak di samping mengerahkan semua potensi yang ada. Termasuk tidak hanya mengoptimalkan jalur formal, tapi juga memacu jalur informal yang tidak hanya melibatkan guru dan sekolah.

Pada Oktober 2004 lalu Depdiknas meluncurkan Televisi Edukasi atau TVE. Tujuan televisi ini adalah untuk memberikan layanan siaran pendidikan berkualitas yang dapat menunjang tujuan pendidikan nasional di samping memeratakan pendidikan ke seantero penjuru Indonesia.

Kehadiran TVE Inilah tampaknya yang menjadi peluang untuk program pengentasan buta aksara. Sejumlah program dikemas untuk mendorong masyarakat pemirsa TVE untuk kenal huruf, dan kemudian di tahap berikutnya mengajak mereka gemar membaca dan menulis.

Namun sayangnya TVE punya keterbatasan. Saat ini, stasiun tersebut hanya bisa diakses bagi mereka yang memiliki parabola, mengingat karena siarannya dipancarkan melalui satelit. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, TVE bisa dipastikan akan menangguk kegagalan seperti yang dialami oleh Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) – yang sudah lama berubah haluan hanya menjadi televisi hiburan semata dan melupakan jati diri P-nya sebagai televisi pendidikan.

Kita masih belum lupa begitu ambisiusnya TPI di masa awal menayangkan siaran-siaran berisi tutorial berbagai mata pelajaran. Ambisi pemerintah, seiring hadirnya TPI kala itu, adalah setiap sekolah menyediakan pesawat televisi di dalam kelas-kelas sekolah – dan program tutorial tersebut sebagai alat bantu guru dalam menyampaikan pelajaran.

Namun apa daya, jangankan menyediakan satu pesawat televisi di setiap kelas, satu televisi setiap satu sekolah saja susah -- bahkan tidak jarang ada sekolah yang atapnya saja tidak utuh, sehingga pengadaan televisi bukanlah prioritas. Apalagi televisi hingga kini masih dikategorikan sebagai barang mewah yang cukup mahal harganya. Alhasil, TPI – entah sebab atau akibat – “terpaksa” banting stir menjadi televisi hiburan semata.

Sinergi TVE dan Stasiun Televisi Lokal
Itulah sebabnya keberadaan TVE perlu disiasati agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. TVE perlu melakukan sinergi dengan stasiun televisi-televisi lokal, khususnya dengan televisi lokal yang berjaya baik secara manajemen keuangan maupun manajemen isi siaran. Walaupun belakangan sebagian televisi lokal yang ada mulai mengendur semangatnya setelah menyadari mengelola televisi ternyata kompleks dan tidak semudah yang diduga sebelumnya.

Kesulitan utama televisi lokal selain saat ini masih harus bersaing denan raksasa TV swasta nasional adalah ketersediaan program. Merencanakan program bagi sebuah stasiun televisi merupakan pekerjaan yang sangat melelahkan. Misalnya, bila sebuah stasiun televisi melakukan siaran selama sepuluh jam sehari dengan menayangkan program berdurasi 30 menit, maka stasiun TV ini membutuhkan 20 program sehari atau 140 program per minggu. Artinya, stasiun televisi akan terus kehausan program-program baru jika tidak ingin ditinggalkan pemirsanya. Dan jika tidak ada pemirsa, maka dijamin iklan pun tidak akan menghampiri. Padahal, pendapatan dari iklan merupakan darah bagi kelangsungan hidup sebuah stasiun televisi.

Membuat program televisi memang bukan pekerjaan mudah – apalagi murah. Perlu biaya dan komponen yang berteknologi tinggi serta tenaga kreatif.

Bagi pengelola televisi lokal, problem ini tentu diatasi atau setidaknya diringankan dengan menyiarkan program yang berasal dari TVE. Apalagi memang tujuan TVE adalah memberikan layanan siaran pendidikan berkualitas yang dapat menunjang tujuan pendidikan nasional. Sehingga, keseluruhan programnya dapat diakses dan dipancarkan kembali secara cuma-cuma melalui stasiun televisi lokal.

Pentingnya Kreativitas
Salah satu “kesalahan” TPI adalah merancang program seperti layaknya tutorial di dalam kelas. Karena televisi merupakan medium hiburan, acara tutorial semacam itu sudah pasti akan sangat menjemukan. Konten dari TVE sebaiknya menghindari hal ini. Karakteristik televisi adalah media tempat pemerisa mencari hiburan dan informasi.

Hal tersebut menjadi tantangan bagi TVE selaku penyedia program. Acara pendidikan bukan tidak mungkin dikemas dalam bentuk hiburan yang inspiatif. Kita bisa lihat contoh program Sesame Street – sebuah program pendidikan yang dibuat di Amerika Serikat – misalnya. Ternyata acara pendidikan tentang mengenal aksara bisa dikemas dengan tarian dan lagi yang menghibur. Singkatnya, acara yang bermuatan pendidikan itu tak menjemukan. Malah sangat atraktif untuk orang dewasa, apalagi untuk anak-anak. Tak heran kalau program seperti ini dibeli oleh stasiun swasta di seluruh dunia (termasuk Indonesia) untuk acara komersial – yang kemudian diselingi dengan iklan.

Tentu saja TVE bisa melakkan hal serupa dengan cirri dan basis Indonesia denan melibatkan orang-orang kreatif di bidang pendidikan dan komunikasi yang tidak terhitung banyaknya.

Pengentasan buta aksara sudah tidak bisa lagi hanya mengandalkan jalur formal semata. Dan kini sudah ada alternatif media yang dapat dijadikan alat yang kreatif dan inovatif. Yakni, dengan pemberdayaan televisi lokal yang memanfaatkan program siaran TVE.

Televisi lokal yang ada haruslah menjadi kepanjang tangan pemerintah dalam upaya memeratakan pendidikan, karena televisi mampu menjangkau daerah-daerah terpencil. Pemerintah dalam hal ini Depdiknas melalui TVE tinggal merumuskan program yang tepat guna dan bermanfaat bagi masyarakat. Yang tak kalah pentingnya adalah sebuah program pendidikan yang dikemas dengan atraktif dan inspiratif. Upaya ini jauh lebih murah dan lebih luas menjangkau sasaran mengingat terbatasnya anggaran. Terlebih saat ini untuk mendongkrak posisi HDI Indonesia kita perlu bekerja keras mengoptimalkan tidak hanya jalur formal melainkan juga jalur lainnya.

Hanya saja ada kekhawatiran memanfaatkan televisi sebagai media pendidikan jangan sampai menjadi bumerang: semakin maraknya budaya lisan-dengan akan membuat budaya baca tulis semakin terpuruk. Karena, bagaimanapun juga, ukuran sebuah bangsa yang maju seperti dipatok indeks HDI-nya UNDP adalah bangasa yang tingkat melek huruf masyarakatnya tinggi. Jadi, bukan dari ukuran seberapa banyak masyarakatnya menonton televisi.

Ahmed Kurnia Soeriawidjaja
Konsultan dan dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi/The London School of Public Relations - Jakarta.

Referensi:
1. Media Scene 2003 – 2004, Jakarta
2. Majalah Cakram Edisi Khusus Televisi/November-Desember 2004
3. Majalah Media Serikat Penerbit Suratkabar (SPS), Juli- Agustus 20034
4. Penelitian yang dibuat IFES pada Pemilu 2004 lalu (terungkap bahwa sebagian besar pemilih
mengenal calon presiden dan wakil presiden dari media televisi dan radio
5. Kompas, 29 November 2004

MENGAPA Ganti Nama?

Ahmed Kurnia Soeriawidjaja

Apalah arti sebuah nama, ujar William Sheakspeare. Bunga mawar akan tetap harum, kendati ia berganti nama, kata pujangga besar asal Inggris itu.

Sheakspeare boleh saja berpendapat seperti itu. Namun bagi banyak orang - termasuk orang-orang Inggris sekalipun – nama menjadi begitu penting dalam kehidupan sehari-hari. Pemberian nama seorang anak yang baru lahir bahkan diikuti dengan acara ritual yang khusus. Karena melalui nama, disitulah terkandung makna dan harapan tentang masa depan kehidupan sang anak. Tak heran kalau peristiwa pemberian nama pada seorang anak, menjadi sama pentingnya dengan kelahiran itu sendiri. Bahkan, sering kita dengar ada anak yang terpaksa harus mengganti namanya, karena alasan sakit-sakitan, misalnya. Tentu dengan harapan setelah orangtuanya mengganti nama anaknya itu, maka penyakit yang diderita juga menghilang seiring dengan namanya yang sudah berganti.

Ini pernah terjadi pada kerabat istri saya. Orangtuanya memberi nama Fifi Kirana. Tapi karena Fifi yang Kirana ini sakit-sakitan, maka ia diberi nama baru: Fifi Afiah. Harapannya adalah supaya Fifi yang Afiah ini akan sehat wal’afiat, dan tidak lagi sakit-sakitan.

Lain halnya seorang aktivis dari sebuah perguruan tinggi di Bandung yang pada tahun 1980-an kerap keluar masuk tahanan polisi dan militer – karena ia dalam pergerakan mahasiswa melakukan kritik dan bersikap oposisi terhadap Pemerintah (baca: penguasa Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto). Kabarnya, ketika anak pertamanya lahir, ia beri nama Gempur Suharto. Bagi telinga sebagian orang, nama itu terdengar seperti punya konotasi politis. Kini, mantan aktivis mahasiswa itu sudah menjadi anggota DPR. Dan setelah Pak Harto lengser dari kekuasaan pada tahun 1998 lalu (setelah berkuasa di republik ini selama 32 tahun), saya belum mendengar apakah nama anaknya itu juga diganti. Wallahualam.

Artis (di dalam dan luar negeri) juga begitu: sering punya nama baru yang berbeda dengan nama yang tercantum di akta kelahirannya. Alasannya, karena pertimbangan komersial. Nama barunya itu terasa lebih akrab ditelinga pasar atau para penggemarnya – ketimbang nama aslinya. Misalnya saja penyanyi kondang Inul Daratista yang terkenal karena atraksi goyang ngebor-nya. Siapa nyana kalau nama aslinya Ainul Rohimah. Atau siapa sangka kalau Marjolein Tambajong yang biasa dipanggil Leince itu, ternyata kini dikenal sebagai Rima Melati. Atau bintang film cantik asal AS, Winona Ryder. Ia dilahirkan dengan nama Winona Laura Horowitz dari pasangan Cindy Istas dan Michael Howoritz. Nama Winona diambil dari kota kecil tempat kelahirannya Winona di Minnesota. Ketika ia melakukan debut di layar lebar pada tahun 1985 di film Lucas, sutradaranya yang bernama David Seltzer bertanya ingin menggunakan nama apa? Winona mengungkapkan ia ingin menggunakan nama Ryder, karena sang ayah sangat mengemari musisi bernama Mitch Ryder. Sejak itulah Winona menjadi Ryder, dan tidak lagi Winona yang Laura Horowitz.

Seperti halnya kerabat istri saya, atau para artis yang mengganti nama tadi, tentu ada juga alasan buat perusahaan yang mengubah nama atau logonya. Seperti PT Semen Cibinong Tbk yang sejak tahun 2006 berganti nama menjadi PT Holchim Indonesia Tbk. Tentu saja logo perusahaan dengan gambar pisau kujang yang biasanya menempel di kantong semen itu, kini sudah berubah dengan logo baru. Atau tengok PT Pertamina yang tidak mengubah namanya, namun mengubah logo perusahaan. Tadinya, perusahaan milik negara itu punya logo kuda laut. Kini logonya berubah menjadi sekilas tampak seperti huruf p (terdiri dari warna hijau, biru dan merah) yang berbentuk anak panah.

Bank BNI juga mengalami pergantian logo. Sebelumnya, logo BNI adalah kapal layar yang sedang menghadapi gelombang, mengarungi samudera. Tapi kini logonya berubah menjadi BNI yang didampingi dengan angka 46. Boleh jadi tradisi lama, yang selama ini dikenal sebagai ‘’BNI 46’’ merupakan aset yang hilang. Dan dengan logo baru itu, dengan angka 46 (diambil dari tahun 1946, tahun berdirinya bank tersebut) yang sudah dikenal itu merupakan angka keramat yang bisa membawa keberuntungan agar BNI tidak lagi terseret dengan berbagai masalah. Terakhir bank itu dikabarkan dibobol sebesar Rp1,7 triliun dengan menggunakan L/C fiktif.

Mungkin ada pembaca yang pernah mendengar perusahaan PT Inti Indorayon Utama yang beroperasi di Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. Dalam perjalanannya, perusahaan itu sarat konflik dengan masyarakat sekitar dan memakan biaya sosial yang tidak terhitung jumlahnya. Boleh jadi karena ingin ‘’mengambil jarak’’ dan meninggalkan masa lalunya itu, maka perusahaan itu ganti nama (dan tentu ganti logo) menjadi PT Toba Pulp Lestari.

Begitu juga yang dialami oleh PT Dipasena Citra Darmaja yang kini sudah berganti nama menjadi PT Aruna Wijaya Sakti. Dipasena adalah perusahaan penghasil udang yang terbesar di Asia yang dibangun oleh Syamsul Nursalim. Gara-gara Nursalim terbelit utang karena Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), maka Dipasena kemudian diserahkan kepada negara sebagai bagian dari pelunasan utang. Dan sejak Mei 2007 lalu, perusahaan itu dimiliki oleh kelompok usaha Charoen Pokphand setelah menang lelang.

Lalu, kenapa perusahaan ganti nama dan ganti logo? Maka alasannya bermacam-macam – seperti halnya orang ganti nama. Tapi secara umum dalih dibalik pergantian nama dan logo itu adalah karena adanya perpindahan kepemilikan atau porsi saham mayoritas yang berubah karena proses merger. Tentu pemegang saham yang mayoritas menginginkan perusahaan yang dimilikinya itu memiliki nama seperti yang dikehendakinya. Perubahan nama dan logo itu juga terjadi karena alasan ingin memberikan identitas baru perusahaan, atau ingin menampilkan citra baru perusahaan yang menjadi simbol atau bagian dari perubahan budaya korporat.

Logo adalah wajah dari suatu perusahaan, berfungsi sebagai pengenal atau jati diri perusahaan untuk dikenali dan ada ide yang terbentuk di masyarakat tentang perusahaan itu, dan secara visual membentuk citra perusahaan.

Sebenarnya tak mudah mengambil keputusan: mengubah nama dan logo perusahaan. Paling tidak perlu sebuah kajian khusus untuk memperhitungkan dampak manfaat dan mudharatnya. Misalnya mencari jawab atas pertanyaan berikut: Apakah nama berikut logo perusahaan yang lama masih menjadi asset yang intangible? Apakah sudah dikenal luas oleh masyarakat? Sebaliknya, apakah nama (dan logo) yang lama tidak lagi merupakan asset, tetapi sudah menjadi liability? Dan secara visual membentuk sebuah citra yang positif atau negatif? Apakah pergantian nama ini untuk menunjukkan bahwa perusahaan tidak lagi memiliki keterkaitan dengan pemilik lama? Apakah pergantian nama ini untuk ‘’menarik jarak” dari masa lalu perusahaan yang sarat dengan konflik sosial antara Inti vs Plasma? (belajar dari kasus PT Indorayon Inti Utama menjadi PT Toba Pulp Lestari atau PT Dipasena Citra Darmaja menjadi PT Aruna Wijaya Sakti). Lalu juga perlu diperhitungkan bagaimana dampaknya terhadap buyers atau suppliers, tentu juga terhadap stakeholders lainnya (termasuk karyawan dan plasma)?

Walhasil, kajian yang mengkalkulasi perlu tidaknya ganti nama dan ganti logo, termasuk dari faktor feng-shui (ini buat yang percaya), ternyata bukanlah pekerjaan mudah. Namun yang pasti, kalau toh terjadi pergantian (nama dan logo perusahaan), ya karena itu tadi: kita percaya bahwa Sheakespeare ternyata salah.

Ahmed Kurnia Sooeriawidjaja
Dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi
The London School of Public Relations - Jakarta

Kamis, 17 September 2009

Media Review: Indonesia

Naskah ini pernah dimuat di MEDIA SCENE 2008

Ahmed Kurnia Soeriawidjaja
Pengantar
Data media dari Dewan Pers menyebutkan saat ini ada lebih dari 830 media cetak (koran, tabloid dan majalah) sebagai dampak dari liberalisasi pers pada tahun 1999 silam. Mereka tentu berebut kue iklan serta penjualan media (sirkulasi). Mengutip data Nielsen-Media Research, belanja iklan media tahun lalu (2007) mencapai sekitar Rp30 triliun, yang dihitung berdasarkan rate card (tarif resmi). Angka itu didasarkan pada survei Nielsen-Media Research terhadap 97 koran, 182 majalah dan tabloid, 11 TV nasional dan tujuh TV lokal.

Sekitar Rp20 triliun atau dua pertiga dari total estimasi belanja iklan itu diserap oleh televisi, sedangkan koran hanya menyerap Rp8,5 triliun, yang mengalami kenaikan 23% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Namun jika diasumsikan diskon besar hingga 50%, belanja iklan media 2006 hanya mencapai Rp15 triliun, dengan pertumbuhan rata-rata sekitar 20% per tahun.

Tren belanja iklan media di Indonesia ini agaknya berbeda dengan tren dunia, dimana belanja iklan media cetak dan televisi hampir berimbang. Menurut data World Association of Newspaper (WAN), belanja iklan media global tahun 2007 lalu mencapai US$247 miliar, sebagian besar diserap Direct Mail (24,9%), televisi (19,2%) dan koran (18,5%).

Bahwa di Indonesia, media televisi lebih menyerap iklan jauh lebih besar dari media cetak, apakah hal ini mencerminkan bahwa media elektronik di Indonesia lebih mendapat tempat daripada media cetak (atau media lainnya)? Artinya media televisi lebih diminati oleh khalayak. Sementara media cetak sudah semakin ditinggalkan oleh pembacanya.

Ini juga terlihat dari sisi oplah, hampir tidak ada pertumbuhan berarti terhadap tiras media cetak nasional. Beberapa koran yang segmented – termasuk pada segmen informasi bisnis - memang dapat mempertahankan oplahnya, tetapi pertumbuhan tiras sangat lambat dan cenderung sensitif dengan persoalan delivery, keagenan dan hambatan distribusi lainnya.

Akibatnya, di Indonesia banyak media cetak yang baru bermunculan, dan banyak juga yang tutup (seperti yang dialami koran berbahasa Inggris The Point yang sejak beberapa bulan lalu tidak lagi terbit karena tiras yang rendah dan pendapatan iklan yang tidak memadai).

Salah satu hal yang salah diperhitungkan oleh para penerbit media cetak ini, adalah gara-gara: aji mumpung! Betul, ada kenaikan pendapatan iklan dari media cetak membuat mereka bersemangat menerbitkan banyak majalah serta koran. Apalagi ada iklim kebebasan yang tidak lagi memerlukan izin dari pemerintah untuk menerbitkan media cetak. Maka siapa saja dan kapan saja, asal saja memiliki uang yang cukup dan badan usaha yang jelas, dapat menerbitkan media cetak.

Semua berpikir toh pendapatan iklan itu akan terus naik. Padahal, berdasarkan perkiraan, kemungkinan pada tahun 2009 nanti jumlah pemain di dunia televisi, media cetak, dan internet melebihi jumlah yang ideal. Hal itu akan menyebabkan terjadinya persaingan tidak sehat di mana para pemain kecil tersingkir. Hukum rimba yang kejam akan berlaku di Indonesia.

Ini ditambah lagi dengan terus meningkatnya harga kertas, membuat para pemain di dunia media cetak yang tidak siap terpaksa gulung tikar.

Data statistik yang dimiliki oleh Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) menunjukkan bahwa pada awal tahun 2007, jumlah oplah koran yang beredar sebanyak 6,026 juta eksemplar. Sementara total oplah seluruh media cetak (termasuk majalah dan tabloid) mencapai 17,374 juta eksemplar. Jika oplah suratkabar harian diperbandingkan dengan jumlah populasi, maka rasionya menjadi 1:38. Artinya, setiap eksemplar suratkabar dibaca oleh 38 orang penduduk Indonesia. Rasio tingkat kepembacaan suratkabar harian di Indonesia ini jauh dari standar yang telah ditetapkan oleh UNESCO yang sebesar 1:10.

Data Dewan Pers sendiri menggambarkan, selama 10 tahun terakhir, readership atau jumlah pembaca (dengan asumsi satu koran bisa dibaca oleh tiga hingga lima orang) tak lebih dari 10 juta. Artinya, dengan jumlah penduduk yang saat ini ditaksir mencapai 230 juta jiwa, readership Indonesia tak lebih dari 5% populasi.

Level readership ini jauh di bawah negara maju yang berada di kisaran 30%-40%, atau setidaknya mencapai 25%. Sebagai perbandingan, India misalnya – yang sama-sama negara berkembang – memiliki readership mencapai 220 juta, atau 22% dari penduduk India sekitar 1 miliar.

Perkembangan media di India memang begitu pesat didorong oleh pertumbuhan ekonomi di atas 9% per tahun. Media cetak di India saat ini sudah lebih dari 53.000 koran dan 7.218 majalah. Nilai bisnis industri media di India malah sudah mencapai US$10,6 miliar pada 2006 (termasuk pendapatan iklan, sirkulasi dan konten) dengan pertumbuhan mencapai 26% per tahun. Angka yang jauh di atas Indonesia.

Sementara untuk pemasang iklan di media massa berdasarkan kategori produk, maka rokok kretek masih menjadi produk dengan belanja iklan terbesar. Iklan produk perawatan rambut menempati posisi kedua dalam belanja iklan. Dan diurutan ketiga adalah produk perlengkapan telekomunikasi.

Berdasarkan kategori merek, maka produk Unilever masih mendominasi belanja iklan tertinggi, seperti salah satu produk sampo anti ketombe dengan belanja iklan yang mencapai Rp71 miliar. Produk tersebut, selama kuartal pertama tahun 2007 ini sudah muncul di televisi sebanyak 71.583 kali! (berdasarkan perhitungan Nielsen Media Research). Dominasi belanja iklan produk Unilever terlihat dari tujuh produknya yang memiliki total belanja iklan lebih dari Rp286 miliar.

Persaingan untuk merebut kue iklan di antara pengelola media cetak tampaknya tidak sehebat dan seketat persaingan antar stasiun televisi atau radio. Kelompok Kompas Gramedia (KKG) masih yang terbesar, khususnya harian Kompas, tabloid Bola dan Nova, dalam hal perolehan iklan dan jumlah pembaca. Tidak ada satupun kelompok usaha media cetak di Indonesia yang mampu ‘’mendekati’’ apalagi menjadi pesaing KKG dalam hal perolehan pendapatan dan jumlah pembaca.

Kini KKG sudah mengambil ancang-ancang masuk ke kancah media baru (new media) yang berbasis internet, yaitu menjadikan Kompas Cyber Media sebagai megaportal yang merupakan gabungan isi (content) dari semua media – baik cetak maupun elektronik – yang berada di bawah payung KKG.

Maraknya media franchise juga mewarnai peta media cetak di Indonesia. Ada kekhawatiran dengan globalisasi media dan keberadaan pers asing dapat berdampak pada berkurangnya kepedulian pers terhadap kepentingan publik dan budaya lokal. Apalagi regulasi tentang pers di Indonesia terbuka terhadap masuknya pers asing (modal asing) dengan pengaturan dan pengawasan yang tidak terlalu ketat. Di Indonesia sudah lama beredar majalah seperti Playboy, Harper Bazaar, Cosmopolitan – edisi Bahasa Indonesia

Konglomerasi Media
Salah satu konglomerat media yang banyak mendapat perhatian adalah: Hari Tanoesudibyo yang menjadi bos PT Media Nusantara Citra Tbk (MNC). Saat ini MNC memiliki tiga stasiun televisi (RCTI, TPI, Global TV) dan sejumlah stasiun radio (di antaranya adalah Trijaya FM – radio berita), beberapa media cetak (koran Seputar Indonesia, majalah Trust dan sejumlah tabloid) serta portal Okezone.

Majalah Asiamoney menetapkan MNC sebagai perusahaan terbaik di Indonesia untuk kategori kapitalisasi pasar menengah dalam penghargaan tahunan "Penghargaan Perusahaan dengan Pengelolaan Terbaik di Asia untuk 2007". MNC disebutkan sebagai salah satu perusahaan dengan pengelolaan terbaik di Asia karena "visi perusahaan yang kuat, kepawaian dalam menggunakan modal, dan ketajaman dalam memperhatikan detil". Penghargaan tersebut diumumkan di majalah Asiamoney edisi Desember 2007/Januari 2008.

Lama sebelum MNC berkembang, Grup Jawa Pos telah membangun jaringan koran daerah di hampir seluruh kota di Indonesia, selain televisi lokal, radio dan media online. Di bawah kendali Dahlan Iskan, Grup Jawa Pos kini telah memiliki lebih dari 100 media daerah, yang didukung jaringan wartawan yang tergabung dalam Jawa Pos News Network (JPNN).

Kelompok Kompas Gramedia (KKG) - kelompok penerbitan terbesar di Indonesia – juga gencar mengembangkan media dalam berbagai format dan platform, dari majalah, tabloid, hingga koran lokal dan koran bisnis (harian Kontan), dengan backbone harian Kompas – yang dipimpin oleh Jakob Oetama.

KKG memiliki media online yang kuat dengan Kompas Cyber Media (KCM) – dan kini sudah menjadi kompas.com sebuah portal informasi. Kelompok usaha ini pernah merintis stasiun televisi (TV-7) yang kemudian bermitra strategis dengan Trans Corp milik Chaerul Tandjung. TV-7 kemudian bersinergi dengan Trans-TV, dan berganti nama menjadi Trans-7. Komposisi saham pemilikan kini menjadi: 49% Trans Corp dan 51% KKG.

Masih banyak lagi kelompok usaha yang memiliki bisnis media dari hulu ke hilir (vertikal) serta kepemilikan horizontal. Seperti kelompok Media Indonesia yang memiliki Koran Lampung Pos dan stasiun Metro-TV, dan kelompok Lippo yang mengembangkan media cetak (melalui Globe Media Group menerbitkan: majalah Globe Asia, koran Investor Daily dan Suara Pembaruan). Dalam waktu dekat mereka akan menerbitkan koran berbahasa Inggris Jakarta Globe. Sebelumnya, Grup Lippo mengembangkan bisnis TV berbayar (KabelVision). Belakangan kelompok usaha ini mengembangkan layanan multimedia dengan brand FirstMedia.

Juga ada kelompok usaha media di bawah bendera koran Bisnis Indonesia yang memiliki sejumlah koran seperti Solopos, Monitor Depok, Indonesia ShangBao, sejumlah stasiun radio dan media online (bisnis.com) yang dengan cepat berkembang menjadi sebuah portal informasi bisnis terbesar di Tanah Air.

Televisi
Persaingan dalam media elektronik tampaknya memaksa stasiun televisi untuk melakukan konsolidasi dengan stasiun televisi lainnya. Menurut Ishadi SK, pimpinan TransTV, stasiun televisi yang merasa berat untuk bersaing akan bergabung dengan televisi lain untuk memperkuat posisinya.

Ishadi benar. Lihat saja TransTV sudah menguasai 49 persen saham TV7 yang dimiliki Kelompok Kompas Gramedia – dan mengubah nama stasiun TV7 menjadi Trans7 – menuyusul Lativi yang diakuisi oleh ANTV (yang 20 sahamnya dimiliki oleh StarTV). Kini giliran Indosiar yang dilirik manajemen Manajemen PT Surya Citra Televisi Tbk yang memiliki SCTV. Fenomena inilah yang menurut Ishadi S.K., ‘’Stasiun televisi yang merasa berat untuk bersaing akan bergabung dengan televisi lain untuk memperkuat posisinya.’’

Menurut Fofo Sariaatmaja, bos SCTV, pihaknya memang sedang memikirkan kolaborasi atau gabungan dengan Indosiar sebagai bagian dari proses konsolidasi. "Bisa akan saling sinergi," kata Fofo, yang juga Presiden Direktur PT Surya Citra Televisi Tbk. Menurut dia, bentuk sinergi antar stasiun televisi tidak hanya penggabungan tetapi bisa tanpa bergabung – dengan kata lain manajemennya bisa terpisah. Ia mengelak ketika ditanya kapan akan ‘’mengambil alih’’ Indosiar dan berapa besar dana yang disiapkan. ‘’Masih terlalu jauh,’’ katanya.

RCTI masih merupakan stasiun televisi dengan pendapatan iklan terbesar sepanjang tahun 2006 dengan perolehan Rp3,1 triliun (menguasai15 persen pangsa iklan televisi), lalu diikuti SCTV yang mengumpulkan Rp2,6 triliun (12,8 persen) dan nyaris sama jumlah perolehannya dengan TransTV, berikutnya Trans7 dengan pendapatan Rp2 triliun (9,7 persen).

Tayangan andalan Trans7 dengan komedian Tukul Arwana sebagai host – acara yang juga disebut-sebut fenomenal karena dalam waktu singkat mendapat perhatian yang luar biasa karena keluar dari pakem talkshow yang biasanya menampilkan sosok host yang ganteng dan pseudo-intelektual.

Sementara untuk stasiun televisi lokal, maka JakTV milik Mahaka Group – yang juga memiliki koran Republika – yang mengudara di Jakarta, merupakan stasiun dengan perolehan tertinggi dengan meraup Rp169,3 miliar. O Channel, stasiun tv yang juga berasal dari ibukota mendapat Rp46,9 miliar, lalu Bali TV (Denpasar) dengan perolehan Rp34,9 miliar serta Jogja TV dan Bandung TV yang masing-masing mendapat sekitar Rp9 miliar.

Tak pelak lagi TransTV dan Trans7 merupakan pendatang baru yang dalam waktu singkat mampu menyaingi, bahkan mengalahkan TPI, ANTV, Indosiar yang merupakan stasiun televisi yang sudah lebih dahulu mapan di pentas media penyiaran di Indonesia.

Maka bisa dimengerti kalau Indosiar dikabarkan santer bakal mengibarkan bendera putih dalam persaingan antar stasiun televisi. Dalam dua tahun belakangan ini PT Indosiar Karya Media Tbk – yang mengelola Indosiar – terus merugi. Pada tahun 2005 mengalami rugi sebesar Rp141,2 miliar. Tahun 2006 lalu kerugiannya bertambah menjadi Rp297,6 miliar.

Peningkatan kerugian Indosiar itu diakibatkan oleh pendapatan usaha yang semakin menyusut yakni dari Rp817,5 miliar pada 2005 menjadi Rp 607,8 miliar pada 2006. Sedangkan beban usaha malah meningkat, dari Rp795,6 miliar pada 2005 menjadi Rp864,4 miliar pada 2006.

Namun Phiong Philips Darma, Direktur Indosiar tetap optimistis tahun ini kerugian akan bisa ditekan. "Kondisi finansial membaik secara keseluruhan dan ada perbaikan peringkat dan pangsa pasar," ujarnya. Optimisme itu tampaknya memang beralasan. Pada semester pertama tahun 2007 ini, menurut Phiong, kerugian perseroan sudah turun 20-25 persen.

Pamor Indosiar (yang pernah menjadi stasiun televisi nomor satu di Indonesia dalam hal perolehan iklan) kembali berkibar, kendati stasiun televisi itu belakangan terseok-seok dalam hal perolehan iklan secara keseluruhan. Salah satu program unggulannya adalah Mama Mia yang mendapat peringkat tinggi untuk acara reality show yang disaksikan sekitar 20 juta pemirsa setiap tayangannya.

Tayangan sinetron masih menjadi primadona di mata pemirsa Indonesia. Sebagian besar bahkan ditayangkan secara stripping – artinya sinetron serial yang tampil setiap hari. Permirsa juga tampaknya tak terlalu peduli kalau ada sekitar 50 sinetron yang ditayangkan seluruh stasiun televisi di Indonesia merupakan jiplakan karya sinetron luar negeri. Atau merupakan sepertiga dari seluruh sinetron yang ditayangkan di berbagai stasiun televisi. Ide cerita sinetron yang dijiplak ke sinetron di Indonesia itu berasal dari Taiwan, Cina, Korea, India dan Meksiko.

Di Indonesia dari sekitar 40 juta rumah tangga yang memiliki televisi, namun baru ada 500 ribu pemilik yang berminat melihat tayangan melalui TV Berlangganan.

Sekarang ini sudah ada 10 perusahaan penyedia jasa TV Berlangganan yang beroperasi di Indonesia – dan masih ada delapan operator lagi sedang menanti izin.

Operator TV Berlangganan itu dimiliki oleh juragan besar seperti First Media/Kabelvision (milik Grup Lippo), Indovision dan OK Vision (Grup MNC), Telkomvision (PT Telkom), IM2 (PT Indosat), B-Vision (Grup Bakrie), E-Vision (Keluarga Sariaatmadja yang sudah memiliki stasiun televisi SCTV).

Sepanjang tahun 2007 lalu, bisnis media TV Berlangganan antara lain juga diwarnai dengan sengitnya persaingan antar operator. Kehadiran Astro yang berbasis di Kuala Lumpur sempat mengundang kontroversi karena layanan televisi itu (jika menggunakan satelit) belum memiilki izin labuh (landing right).

Namun menurut Dirjen Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi, Departemen Komunikasi dan Informatika, Gde Widiadnyana Merati, Astro sudah mengantongi izin multimedia yang di dalamnya sudah mencakup izin beroperasi televisi berbayar. Akan tetapi izin itu tidak untuk layanan yang menggunakan sistem satelit, melainkan pakai kabel.

Di negeri asalnya, Malaysia, Astro memiliki lebih dari 1,4 juta pelanggan atau 33 persen dari seluruh pemilik pesawat televisi yang ada di negeri itu. Tapi kehadiran Astro ternyata belum mampu meningkatkan gairah masyarakat mengkonsumsi televisi berlangganan. Hingga saat ini, tercatat baru sekitar 1,5 persen keluarga di Indonesia yang berlangganan tv kabel. Angka itu adalah yang terendah di Asia. Sebagai contoh Singapura, Hong Kong dan Malaysia mempunyai lebih dari 30 persen rumah tangga di sana berlangganan tv berbayar. Bahkan negara berkembang lainnya seperti India dan Cina, penetrasinya lebih tinggi lagi, yaitu masing-masing 55 persen dan 32 persen dari jumlah keluarga yang memiliki televisi. Walau begitu ada juga yang optimis bahwa market size bisnis tv berlangganan di Indonesia bakal mencapai 10 juta pelanggan. Tentu, untuk mencapai angka itu perlu waktu yang tidak sebentar.

Untuk sementara operator televisi kabel di Indonesia masih dikuasai Indovision, Kabelvision (kini berganti nama menjadi First Media), Telkomvision dan IndosatM2.

Radio
Karakteristik pendengar di Indonesia (hasil penelitian Nielsen Media Research responden berusia 10 tahun ke atas di sembilan kota, yaitu: Jakarta, Bandung, Denpasar, Medan, Makassar, Palembang, Surabaya, Semarang dan Yogyakarta pada Mei 2007 lalu) dalam hal menghabiskan waktu mendengar radio dalam seminggu mencapai: 22 jam, 32 menit. Ini merupakan peningkatan jumlah waktu dalam mendengar radio, yang pada tahun sebelumnya (pada Mei 2006): 20 jam, 37 menit untuk setiap minggunya.

Sedangkan jangkauan media radio terhadap penduduk Indonesia mencapai 66,4 persen. Ini merupakan peningkatan dibandingkan tahun 2006 lalu sekitar 63,2 persen dari jumlah total penduduk Indonesia. Pertumbuhan jumlah radio di negeri ini memang semakin pesat. Bila pada tahun 2000 ada sekitar 800 stasiun radio, maka pada tahun 2006 diperkirakan sudah menjadi 1.800 stasiun radio.

Majalah Cakram memaparkan tentang kekuatan iklan di radio bila dipadukan dengan internet. Uji teknis secara secara on-line menunjukan recall iklan bertambah sangat signifikan ketika iklan radio dipadukan dengan iklan di internet – bila dibandingkan hanya beriklan melalui website. Ini merupakan salah satu kesimpulan studi yang dilakukan Harris Interactive Inc. yang dilansir Februari 2007 lalu. Pemikiran yang berkembang dalam dunia periklanan saat ini meyakini efektivitas penggunaaan media campuran (mixed media) dibanding hanya menggunakan media tunggal (single media).

Konvergensi radio dengan media digital seperti internet dan mobile phone menjadikan media ini dapat menjangkau lebih banyak khalayak sasaran. Program radio – yang tadinya memiliki keterbatasan jangakuan siar – kini bisa didengar lewat telepon selular dan internet dan menjadi tidak terbatas.

Di Jakarta, Bens Radio kembali menjadi stasiun yang paling banyak pendengarnya: 4,2 juta. Ini merupakan peningkatan dari tahun sebelumnya, yang tercatat 3,5 juta pendengar. Bagi Bens Radio prestasi ini merupakan tahun keenam berturut-turut (sejak 2001) sebagai stasiun radio swasta yang paling banyak didengar orang. Menyusul POP FM (2,5 juta pendengar) dan Megaswara (2,3 juta pendengar).

Di Bandung, Dahlia masih jadi primadona dengan jumlah pendengar terbanyak yang mencapai 426.000 pasang kuping. Di peringkat berikutnya adalah Rama (342.000 pendengar) dan 99ers (328.000 pendengar) yang menggeser Ardan (324.000).

Di Surabaya ada kelompok usaha stasiun radio Suzana yang berjaya dengan memiliki empat stasiun radio: Suara Giri yang menduduki peringkat pertama untuk pendengar terbanyak (sekitar 2,5 juta orang), Merdeka peringkat tiga (1.124.000 pendengar), Suzana peringkat empat (sekitar 1 juta pendengar) dan EBS FM peringkat delapan (dengan 596.000 pendengar).

Sedangkan, KIS FM di Semarang (227 ribu pendengar), Gamasi di Makassar (368 ribu) dan Most FM (305 ribu) di Medan, masing-masing menjadi ‘’raja’’ dan mendapat predikat sebagai stasiun radio dengan pendengar terbanyak di kotanya masing-masing.

Radio Republik Indonesia (RRI) adalah satu-satunya lembaga penyiaran publik – sejak September 2005 lalu – yang berfungsi sebagai sarana informasi untuk pendidikan, hiburan dan melestarikan budaya Indonesia. Di bawah pimpinan Parni Hadi, mantan wartawan LKBN Antara, yang menjabat Direktur Utama, lembaga penyiaran itu melakukan sejumlah gebrakan dalam hal program. Di antaranya menampilkan acara baru dialog interaktif seperti talkshow on-air secara nasional dengan tajuk Presiden Menyapa dan Bedah Korupsi.

RRI juga menyiarkan pemberitaan dalam 11 bahasa asing, di antaranya Bahasa Inggris, Arab, Jepang, Perancis, Spanyol, Korea dan Thailand.

Potensi pendengar RRI mencapai sekitar 200 juta orang yang tersebar di 58 kota-kota utama di Indonesia. Karakteristiknya: 47 persen pendengar pria, 53 persen pendengar wanita. Usia pendengar RRI ada sekitar 43% berkisar 15-45 tahun, dan sebagian besar berpendidikan SMA ke atas (60 persen).

Di beberapa kota besar, RRI punya pasar yang cukup kuat. Di Jogjakarta misalnya, radio yang punya slogan ‘’Sekali di Udara, Tetap di Udara’’ punya rating cukup tinggi, berada di peringkat lima setelah GCD FM, Persatuan, Tetjo Buntung dan Yasika. Sedangkan di Palembang ada di peringkat tujuh. Di Makassar dan Medan, RRI bertengger di posisi Sepuluh Besar stasiun radio pilihan pendengar di sana.

Persaingan antar stasiun telah memberi ruang inovasi dan inspirasi bagi para pengelolanya. Kini radio tak lagi mengemas program-program siaran secara umum. Mereka mulai menggarap segmentasi pasar secara khusus. Maka muncul stasiun dengan ceruk tertentu, mulai dari khusus musik dangdut, remaja, perempuan, bisnis, hingga yang khusus mengudarakan progam siaran berita melulu. Buat mereka yang berminat mendapatkan informasi atau berita misalnya ada Suara Surabaya (Surabaya) dan Elshinta (Jakarta). Atau mendengar namanya saja seperti FeMale (yang hadir di Jakarta dan Bandung), atau Kids Radio (Jakarta) sudah bisa ditebak sasaran pendengar dari stasiun radio tersebut.

Dengan adanya segmentasi ini, maka memudahkan pengiklan karena jelas target dan sasarannya. Menarik untuk dikaji selanjutnya tentang stasiun radio ceruk (segmented) di Indonesia yang terus berkembang.

Stasiun radio yang membentuk jaringan siaran masih menjadi tren seperti Elshinta (Jakarta) yang bisa di-relay oleh 35 stasiun radio lainya di kota-kota besar di Indonesia. Serta jaringan radio Sonora (milik Kelompok Kompas Gramedia) yang tersebar di tujuh kota: Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Palembang, Pontianak, Pangkal Pinang dan Solo.

Tapi radio jaringan yang ‘’terbesar di Indonesia’’ saat ini adalah 68H (berbasis di Jakarta), yang progamnya bisa di-relay oleh 445 stasiun radio yang tersebar di seluruh Indonesia. Tak cuma itu, radio ini juga memperluas jaringan siarannya ke Australia (direlai oleh sembilan radio di Australia), Thailand dan Timor Leste. Menurut laporan majalah Cakram yang mengutip sebuah perusahaan riset, pendengar 68H diperkirakan sekitar 13 juta

Media Cetak
Secara umum terlihat ada tren menurunnya minat baca di Indonesia yang semakin mengkhawatirkan. Berdasarkan data Nielsen Readership Study, angka minat membaca koran adalah 30% atau mencapai sekitar 11 juta orang di sembilan kota besar: Jabodetabek, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Palembang, Denpasar dan Makassar.

Tetapi koran bukanlah satu-satunya media yang mengalami penurunan jumlah pembaca. Majalah dan tabloid juga merasakan hal yang serupa. Majalah mengalami penurunan: dari 21% (pada tahun 2004) menjadi 18% (di awal tahun 2007); dan tabloid dari 22% (2004) menjadi 17% (2007).

Apa penyebabnya? Maraknya media elektronik, sehingga khalayak berpaling dari koran dan menonton televisi? Atau karena media cetak yang tidak dapat meningkatkan kualitasnya – seiring dengan tuntutan zaman? Seorang pengamat asing menilai bahwa sebagian besar artikel yang ditulis wartawan di media yang terbit di Indonesia adalah talking news. "There is no answer to the problem, and the articles are not comprehensive. Journalists are too lazy to go deeper," katanya. Boleh jadi ini memberikan kontribusi terhadap rendahnya minat baca (low readership) terhadap suratkabar di Indonesia – yaitu ratio 1:42 - satu suratkabar dibaca oleh 42 orang. Sementara Malaysia memiliki ratio 1:8 dan India 1:12.

Namun di tengah surutnya minat orang membaca, tapi koran lokal – yang terbit di luar kota Jakarta – kini justru semakin berkibar. Dari Sepuluh Besar koran di Indonesia dalam hal pendapatan iklan, delapan di antaranya adalah media lokal. Yaitu, Jawa Pos (Surabaya), Sumatera Express dan Sriwjaya Post (Palembang), Manado Post (Manado), Bali Post (Denpasar), Fajar (Makassar), Harian Independent (Jambi) dan Pikiran Rakyat. Dua koran terbitan Jakarta yang tersisa adalah: Kompas dan Media Indonesia.

Pendapatan iklan harian Kompas mengalami peningkatan dari Rp1,31 Triliun (pada tahun 2005 atau menguasai 17,5 persen pendapatan iklan seluruh koran di Indonesia) menjadi Rp1,35 Triliun (2006) – namun mengalami penurunan share dengan 15,1 persen. Perolehan iklan koran Media Indonesia mencapai Rp334,7 miliar (2006). Jumlah ini menurun dibanding dengan tahun sebelumnya yang memperoleh Rp386,8 miliar (2005). Itulah gambaran dua koran terbitan ibukota dan masih bercokol di Sepuluh Besar koran yang pendapatannya iklannya tinggi.

Sementara itu perolehan iklan koran-koran yang terbit di luar Jakarta mengalami peningkatan yang signifikan. Sebut saja Jawa Pos (koran yang terbit di Surabaya) yang mengalami peningkatan pendapatan iklannya sekitar 20 persen. Pada tahun 2006 lalu memperoleh Rp578,9 miliar, sedangkan pada tahun 2005 mendapat Rp463,7 miliar. Lalu Sriwijaya Post (terbit di Palembang) yang peningkatan perolehannya iklannya sekitar 50 persen dalam dua tahun terakhir. Pada tahun 2005 mendapat Rp136,3 miliar, dan setahun kemudian melonjak menjadi Rp238,9 miliar.

Tapi di antara koran-koran lokal yang ada, pertumbuhan pendapatan iklan yang paling spektakuler adalah Jambi Independent yang mendapat Rp225,8 miliar (2006) dan tahun sebelumnya Rp129,5 miliar (2005). Padahal, usia koran ini belum genap lima tahun, tapi sudah menyisihkan sejumlah koran lainnya di Sumatera yang sudah mapan dan bahkan berusia puluhan tahun seperti Analisa dan Waspada (terbit di Medan), Riau Pos (Pekanbaru), Singgalang (Padang) dan Lampung Post (Bandar Lampung).

Wajah persuratkabaran di Indonesia pada tahun 2007 ini, juga ditandai dengan lahirnya kembali (re-launching) Harian Indonesia, koran berbahasa Mandari yang pertama dan terbesar di negeri ini. Koran yang pertamakali terbit pada 12 September 1966 yang silam itu menjalin kerjasama dengan harian berbahasa Mandarin terbesar di Malaysia Sin Chew. Kelompok usaha media yang berada di belakang Sin Chew itu juga memiliki beberapa koran di Hongkong, Kanada dan di Amerika Serikat.

‘’Sinergi dengan koran Sin Chew diharapkan dapat membuat Harian Indonesia dapat mengakar sampai ke tingkat regional Asean,' kata Presiden Direktur Harian Indonesia, Erick Tohir, yang juga pimpinan kelompok usaha Mahaka Media – yang antara lain memiliki koran Republika dan JakTV. Sebelumnya Republika juga melakukan kerjasama pertukaran isi berita dengan koran Berita Harian – koran berbahasa Melayu yang terbit di Kuala Lumpur, Malaysia. Koran ini juga sukses menggalang kerjasama dengan The New York Times yang terbit di Amerika Serikat melalui kolom konsultasi bisnis dengan Jack dan Suzie Welch yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

Hadirnya Harian Indonesia jelas sangat membantu turis dan investor dari Cina yang kini mulai menyerbu Indonesia. Potensi pasar untuk koran berbahasa Mandarin tampaknya memang masih terbuka lebar. Saat ini ada sekitar 10 juta warga etnis Tionghoa di Indonesia yang fasih berbahasa Mandarin. Mereka tentu membutuhkan informasi yang berbahasa Mandarin dan dikemas sesuai dengan selera mereka.

Persaingan yang ketat menimbulkan gagasan baru dalam melakukan kampanye iklan. Terobosan itu dilakukan harian Warta Kota – milik Kelompok Kompas Gramedia. Koran terbitan Jakarta itu melakukan street happenings dengan menghadirkan sejumlah orang berdiri di pinggir jalan-jalan protokol di Jakarta sambil membaca koran Warta Kota. Aksi selama tiga hari di bulan Juni 207 lalu ini dilakukan pada saat jam-jam padat di pagi dan sore hari.

Happening arts ini merupakan bagian dari kampanye koran itu yang juga beriklan di media cetak dan media televisi. Hasilnya: lumayan! Kabarnya, tak lama setelah kampanye, oplah Warta Kota mengalami penambahan. Ini tentu merupakan ancaman serius bagi Pos Kota – yang selama ini menjadi ‘’raja’’ dengan pemberitaan yang khusus tentang seputar Jakarta dengan pembaca (readership) yang mencapai 1,338 juta orang setiap harinya. Sementara Kompas dan Jawa Pos masih unggul dalam hal jumlah pembacanya dengan karakteristik yang berbeda dengan Pos Kota.

Untuk kategori majalah, maka Femina masih menjadi media yang menarik untuk para pengiklan. Majalah tersebut menduduki peringkat pertama dalam pendapatan iklan dengan perolehan Rp74,5 miliar (2006) – dan ini merupakan penurunan dibandingkan tahun sebelumnya sekitar Rp86 miliar. Majalah Tempo menduduki peringkat kedua dengan pendapatan Rp68,9 miliar, dan diikuti dengan majalah franchise asal Amerika Serikat Cosmopolitan Rp47,7 miliar.

Sukses Femina ini antara lain karena mampu mengelola rubrik yang sesuai dengan keinginan pemasang iklan dan sekaligus menjawab kebutuhan informasi khalayak sasaran. Setiap tahunnya majalah ini menerbitkan edisi khusus dengan berbagai topik. Misalnya tentang ‘’Wanita Bekerja’’, ‘’Panduan Investasi Praktis’’ atau ‘Liburan’’. Inilah antar lain menjadi daya tarik bagi para pemasang iklan untuk memperkenalkan produk barang atau jasa kepada target market yang sesuai.

Untuk media cetak jenis tabloid, maka dua media yang diterbitkan oleh Kelompok Kompas Gramedia, yaitu Nova dan Bola berkibar dalam hal pendapatan iklan dan jumlah pembaca. Nova, tabloid untuk segmen wanita, tahun 2006 lalu, mendapat iklan senilai Rp93,8 miliar. Sedangkan Bola yang isinya tentang olahraga memperoleh Rp42,9 miliar. Berikutnya adalah Bintang Indonesia dengan perolehan Rp35,9 miliar. Dan diikuti Nyata – terbit di Surabaya – yang mampu mendapat Rp29,2 miliar.

Pada mulanya tabloid Nyata, yang hadir sejak 1991 dan menyasar pembaca perempuan, adalah media lokal. Namun dalam perkembangan pemasarannya, media itu sudah tembus, tidak hanya ke Jakarta tetapi juga beredar di negara tetangga seperti: Taiwan, Hongkong, Singapura, Brunei Darussalam dan Malaysia. Tabloid ini memang banyak dibaca dan digemari oleh para tenaga kerja (perempuan) Indonesia yang berada di negeri jiran tersebut.

Sementara untuk ukuran readership, maka Bola menjadi tabloid yang paling banyak memiliki pembaca: sekitar 1,5 juta orang. Sedangkan Nova dibaca oleh sekitar 1 juta orang. Berikutnya adalah Pulsa, tabloid yang menginformasikan tentang perkembangan telepon selular, yang dibaca hampir 900 ribu orang.


***