Kamis, 17 September 2009

Media Review: Indonesia

Naskah ini pernah dimuat di MEDIA SCENE 2008

Ahmed Kurnia Soeriawidjaja
Pengantar
Data media dari Dewan Pers menyebutkan saat ini ada lebih dari 830 media cetak (koran, tabloid dan majalah) sebagai dampak dari liberalisasi pers pada tahun 1999 silam. Mereka tentu berebut kue iklan serta penjualan media (sirkulasi). Mengutip data Nielsen-Media Research, belanja iklan media tahun lalu (2007) mencapai sekitar Rp30 triliun, yang dihitung berdasarkan rate card (tarif resmi). Angka itu didasarkan pada survei Nielsen-Media Research terhadap 97 koran, 182 majalah dan tabloid, 11 TV nasional dan tujuh TV lokal.

Sekitar Rp20 triliun atau dua pertiga dari total estimasi belanja iklan itu diserap oleh televisi, sedangkan koran hanya menyerap Rp8,5 triliun, yang mengalami kenaikan 23% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Namun jika diasumsikan diskon besar hingga 50%, belanja iklan media 2006 hanya mencapai Rp15 triliun, dengan pertumbuhan rata-rata sekitar 20% per tahun.

Tren belanja iklan media di Indonesia ini agaknya berbeda dengan tren dunia, dimana belanja iklan media cetak dan televisi hampir berimbang. Menurut data World Association of Newspaper (WAN), belanja iklan media global tahun 2007 lalu mencapai US$247 miliar, sebagian besar diserap Direct Mail (24,9%), televisi (19,2%) dan koran (18,5%).

Bahwa di Indonesia, media televisi lebih menyerap iklan jauh lebih besar dari media cetak, apakah hal ini mencerminkan bahwa media elektronik di Indonesia lebih mendapat tempat daripada media cetak (atau media lainnya)? Artinya media televisi lebih diminati oleh khalayak. Sementara media cetak sudah semakin ditinggalkan oleh pembacanya.

Ini juga terlihat dari sisi oplah, hampir tidak ada pertumbuhan berarti terhadap tiras media cetak nasional. Beberapa koran yang segmented – termasuk pada segmen informasi bisnis - memang dapat mempertahankan oplahnya, tetapi pertumbuhan tiras sangat lambat dan cenderung sensitif dengan persoalan delivery, keagenan dan hambatan distribusi lainnya.

Akibatnya, di Indonesia banyak media cetak yang baru bermunculan, dan banyak juga yang tutup (seperti yang dialami koran berbahasa Inggris The Point yang sejak beberapa bulan lalu tidak lagi terbit karena tiras yang rendah dan pendapatan iklan yang tidak memadai).

Salah satu hal yang salah diperhitungkan oleh para penerbit media cetak ini, adalah gara-gara: aji mumpung! Betul, ada kenaikan pendapatan iklan dari media cetak membuat mereka bersemangat menerbitkan banyak majalah serta koran. Apalagi ada iklim kebebasan yang tidak lagi memerlukan izin dari pemerintah untuk menerbitkan media cetak. Maka siapa saja dan kapan saja, asal saja memiliki uang yang cukup dan badan usaha yang jelas, dapat menerbitkan media cetak.

Semua berpikir toh pendapatan iklan itu akan terus naik. Padahal, berdasarkan perkiraan, kemungkinan pada tahun 2009 nanti jumlah pemain di dunia televisi, media cetak, dan internet melebihi jumlah yang ideal. Hal itu akan menyebabkan terjadinya persaingan tidak sehat di mana para pemain kecil tersingkir. Hukum rimba yang kejam akan berlaku di Indonesia.

Ini ditambah lagi dengan terus meningkatnya harga kertas, membuat para pemain di dunia media cetak yang tidak siap terpaksa gulung tikar.

Data statistik yang dimiliki oleh Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) menunjukkan bahwa pada awal tahun 2007, jumlah oplah koran yang beredar sebanyak 6,026 juta eksemplar. Sementara total oplah seluruh media cetak (termasuk majalah dan tabloid) mencapai 17,374 juta eksemplar. Jika oplah suratkabar harian diperbandingkan dengan jumlah populasi, maka rasionya menjadi 1:38. Artinya, setiap eksemplar suratkabar dibaca oleh 38 orang penduduk Indonesia. Rasio tingkat kepembacaan suratkabar harian di Indonesia ini jauh dari standar yang telah ditetapkan oleh UNESCO yang sebesar 1:10.

Data Dewan Pers sendiri menggambarkan, selama 10 tahun terakhir, readership atau jumlah pembaca (dengan asumsi satu koran bisa dibaca oleh tiga hingga lima orang) tak lebih dari 10 juta. Artinya, dengan jumlah penduduk yang saat ini ditaksir mencapai 230 juta jiwa, readership Indonesia tak lebih dari 5% populasi.

Level readership ini jauh di bawah negara maju yang berada di kisaran 30%-40%, atau setidaknya mencapai 25%. Sebagai perbandingan, India misalnya – yang sama-sama negara berkembang – memiliki readership mencapai 220 juta, atau 22% dari penduduk India sekitar 1 miliar.

Perkembangan media di India memang begitu pesat didorong oleh pertumbuhan ekonomi di atas 9% per tahun. Media cetak di India saat ini sudah lebih dari 53.000 koran dan 7.218 majalah. Nilai bisnis industri media di India malah sudah mencapai US$10,6 miliar pada 2006 (termasuk pendapatan iklan, sirkulasi dan konten) dengan pertumbuhan mencapai 26% per tahun. Angka yang jauh di atas Indonesia.

Sementara untuk pemasang iklan di media massa berdasarkan kategori produk, maka rokok kretek masih menjadi produk dengan belanja iklan terbesar. Iklan produk perawatan rambut menempati posisi kedua dalam belanja iklan. Dan diurutan ketiga adalah produk perlengkapan telekomunikasi.

Berdasarkan kategori merek, maka produk Unilever masih mendominasi belanja iklan tertinggi, seperti salah satu produk sampo anti ketombe dengan belanja iklan yang mencapai Rp71 miliar. Produk tersebut, selama kuartal pertama tahun 2007 ini sudah muncul di televisi sebanyak 71.583 kali! (berdasarkan perhitungan Nielsen Media Research). Dominasi belanja iklan produk Unilever terlihat dari tujuh produknya yang memiliki total belanja iklan lebih dari Rp286 miliar.

Persaingan untuk merebut kue iklan di antara pengelola media cetak tampaknya tidak sehebat dan seketat persaingan antar stasiun televisi atau radio. Kelompok Kompas Gramedia (KKG) masih yang terbesar, khususnya harian Kompas, tabloid Bola dan Nova, dalam hal perolehan iklan dan jumlah pembaca. Tidak ada satupun kelompok usaha media cetak di Indonesia yang mampu ‘’mendekati’’ apalagi menjadi pesaing KKG dalam hal perolehan pendapatan dan jumlah pembaca.

Kini KKG sudah mengambil ancang-ancang masuk ke kancah media baru (new media) yang berbasis internet, yaitu menjadikan Kompas Cyber Media sebagai megaportal yang merupakan gabungan isi (content) dari semua media – baik cetak maupun elektronik – yang berada di bawah payung KKG.

Maraknya media franchise juga mewarnai peta media cetak di Indonesia. Ada kekhawatiran dengan globalisasi media dan keberadaan pers asing dapat berdampak pada berkurangnya kepedulian pers terhadap kepentingan publik dan budaya lokal. Apalagi regulasi tentang pers di Indonesia terbuka terhadap masuknya pers asing (modal asing) dengan pengaturan dan pengawasan yang tidak terlalu ketat. Di Indonesia sudah lama beredar majalah seperti Playboy, Harper Bazaar, Cosmopolitan – edisi Bahasa Indonesia

Konglomerasi Media
Salah satu konglomerat media yang banyak mendapat perhatian adalah: Hari Tanoesudibyo yang menjadi bos PT Media Nusantara Citra Tbk (MNC). Saat ini MNC memiliki tiga stasiun televisi (RCTI, TPI, Global TV) dan sejumlah stasiun radio (di antaranya adalah Trijaya FM – radio berita), beberapa media cetak (koran Seputar Indonesia, majalah Trust dan sejumlah tabloid) serta portal Okezone.

Majalah Asiamoney menetapkan MNC sebagai perusahaan terbaik di Indonesia untuk kategori kapitalisasi pasar menengah dalam penghargaan tahunan "Penghargaan Perusahaan dengan Pengelolaan Terbaik di Asia untuk 2007". MNC disebutkan sebagai salah satu perusahaan dengan pengelolaan terbaik di Asia karena "visi perusahaan yang kuat, kepawaian dalam menggunakan modal, dan ketajaman dalam memperhatikan detil". Penghargaan tersebut diumumkan di majalah Asiamoney edisi Desember 2007/Januari 2008.

Lama sebelum MNC berkembang, Grup Jawa Pos telah membangun jaringan koran daerah di hampir seluruh kota di Indonesia, selain televisi lokal, radio dan media online. Di bawah kendali Dahlan Iskan, Grup Jawa Pos kini telah memiliki lebih dari 100 media daerah, yang didukung jaringan wartawan yang tergabung dalam Jawa Pos News Network (JPNN).

Kelompok Kompas Gramedia (KKG) - kelompok penerbitan terbesar di Indonesia – juga gencar mengembangkan media dalam berbagai format dan platform, dari majalah, tabloid, hingga koran lokal dan koran bisnis (harian Kontan), dengan backbone harian Kompas – yang dipimpin oleh Jakob Oetama.

KKG memiliki media online yang kuat dengan Kompas Cyber Media (KCM) – dan kini sudah menjadi kompas.com sebuah portal informasi. Kelompok usaha ini pernah merintis stasiun televisi (TV-7) yang kemudian bermitra strategis dengan Trans Corp milik Chaerul Tandjung. TV-7 kemudian bersinergi dengan Trans-TV, dan berganti nama menjadi Trans-7. Komposisi saham pemilikan kini menjadi: 49% Trans Corp dan 51% KKG.

Masih banyak lagi kelompok usaha yang memiliki bisnis media dari hulu ke hilir (vertikal) serta kepemilikan horizontal. Seperti kelompok Media Indonesia yang memiliki Koran Lampung Pos dan stasiun Metro-TV, dan kelompok Lippo yang mengembangkan media cetak (melalui Globe Media Group menerbitkan: majalah Globe Asia, koran Investor Daily dan Suara Pembaruan). Dalam waktu dekat mereka akan menerbitkan koran berbahasa Inggris Jakarta Globe. Sebelumnya, Grup Lippo mengembangkan bisnis TV berbayar (KabelVision). Belakangan kelompok usaha ini mengembangkan layanan multimedia dengan brand FirstMedia.

Juga ada kelompok usaha media di bawah bendera koran Bisnis Indonesia yang memiliki sejumlah koran seperti Solopos, Monitor Depok, Indonesia ShangBao, sejumlah stasiun radio dan media online (bisnis.com) yang dengan cepat berkembang menjadi sebuah portal informasi bisnis terbesar di Tanah Air.

Televisi
Persaingan dalam media elektronik tampaknya memaksa stasiun televisi untuk melakukan konsolidasi dengan stasiun televisi lainnya. Menurut Ishadi SK, pimpinan TransTV, stasiun televisi yang merasa berat untuk bersaing akan bergabung dengan televisi lain untuk memperkuat posisinya.

Ishadi benar. Lihat saja TransTV sudah menguasai 49 persen saham TV7 yang dimiliki Kelompok Kompas Gramedia – dan mengubah nama stasiun TV7 menjadi Trans7 – menuyusul Lativi yang diakuisi oleh ANTV (yang 20 sahamnya dimiliki oleh StarTV). Kini giliran Indosiar yang dilirik manajemen Manajemen PT Surya Citra Televisi Tbk yang memiliki SCTV. Fenomena inilah yang menurut Ishadi S.K., ‘’Stasiun televisi yang merasa berat untuk bersaing akan bergabung dengan televisi lain untuk memperkuat posisinya.’’

Menurut Fofo Sariaatmaja, bos SCTV, pihaknya memang sedang memikirkan kolaborasi atau gabungan dengan Indosiar sebagai bagian dari proses konsolidasi. "Bisa akan saling sinergi," kata Fofo, yang juga Presiden Direktur PT Surya Citra Televisi Tbk. Menurut dia, bentuk sinergi antar stasiun televisi tidak hanya penggabungan tetapi bisa tanpa bergabung – dengan kata lain manajemennya bisa terpisah. Ia mengelak ketika ditanya kapan akan ‘’mengambil alih’’ Indosiar dan berapa besar dana yang disiapkan. ‘’Masih terlalu jauh,’’ katanya.

RCTI masih merupakan stasiun televisi dengan pendapatan iklan terbesar sepanjang tahun 2006 dengan perolehan Rp3,1 triliun (menguasai15 persen pangsa iklan televisi), lalu diikuti SCTV yang mengumpulkan Rp2,6 triliun (12,8 persen) dan nyaris sama jumlah perolehannya dengan TransTV, berikutnya Trans7 dengan pendapatan Rp2 triliun (9,7 persen).

Tayangan andalan Trans7 dengan komedian Tukul Arwana sebagai host – acara yang juga disebut-sebut fenomenal karena dalam waktu singkat mendapat perhatian yang luar biasa karena keluar dari pakem talkshow yang biasanya menampilkan sosok host yang ganteng dan pseudo-intelektual.

Sementara untuk stasiun televisi lokal, maka JakTV milik Mahaka Group – yang juga memiliki koran Republika – yang mengudara di Jakarta, merupakan stasiun dengan perolehan tertinggi dengan meraup Rp169,3 miliar. O Channel, stasiun tv yang juga berasal dari ibukota mendapat Rp46,9 miliar, lalu Bali TV (Denpasar) dengan perolehan Rp34,9 miliar serta Jogja TV dan Bandung TV yang masing-masing mendapat sekitar Rp9 miliar.

Tak pelak lagi TransTV dan Trans7 merupakan pendatang baru yang dalam waktu singkat mampu menyaingi, bahkan mengalahkan TPI, ANTV, Indosiar yang merupakan stasiun televisi yang sudah lebih dahulu mapan di pentas media penyiaran di Indonesia.

Maka bisa dimengerti kalau Indosiar dikabarkan santer bakal mengibarkan bendera putih dalam persaingan antar stasiun televisi. Dalam dua tahun belakangan ini PT Indosiar Karya Media Tbk – yang mengelola Indosiar – terus merugi. Pada tahun 2005 mengalami rugi sebesar Rp141,2 miliar. Tahun 2006 lalu kerugiannya bertambah menjadi Rp297,6 miliar.

Peningkatan kerugian Indosiar itu diakibatkan oleh pendapatan usaha yang semakin menyusut yakni dari Rp817,5 miliar pada 2005 menjadi Rp 607,8 miliar pada 2006. Sedangkan beban usaha malah meningkat, dari Rp795,6 miliar pada 2005 menjadi Rp864,4 miliar pada 2006.

Namun Phiong Philips Darma, Direktur Indosiar tetap optimistis tahun ini kerugian akan bisa ditekan. "Kondisi finansial membaik secara keseluruhan dan ada perbaikan peringkat dan pangsa pasar," ujarnya. Optimisme itu tampaknya memang beralasan. Pada semester pertama tahun 2007 ini, menurut Phiong, kerugian perseroan sudah turun 20-25 persen.

Pamor Indosiar (yang pernah menjadi stasiun televisi nomor satu di Indonesia dalam hal perolehan iklan) kembali berkibar, kendati stasiun televisi itu belakangan terseok-seok dalam hal perolehan iklan secara keseluruhan. Salah satu program unggulannya adalah Mama Mia yang mendapat peringkat tinggi untuk acara reality show yang disaksikan sekitar 20 juta pemirsa setiap tayangannya.

Tayangan sinetron masih menjadi primadona di mata pemirsa Indonesia. Sebagian besar bahkan ditayangkan secara stripping – artinya sinetron serial yang tampil setiap hari. Permirsa juga tampaknya tak terlalu peduli kalau ada sekitar 50 sinetron yang ditayangkan seluruh stasiun televisi di Indonesia merupakan jiplakan karya sinetron luar negeri. Atau merupakan sepertiga dari seluruh sinetron yang ditayangkan di berbagai stasiun televisi. Ide cerita sinetron yang dijiplak ke sinetron di Indonesia itu berasal dari Taiwan, Cina, Korea, India dan Meksiko.

Di Indonesia dari sekitar 40 juta rumah tangga yang memiliki televisi, namun baru ada 500 ribu pemilik yang berminat melihat tayangan melalui TV Berlangganan.

Sekarang ini sudah ada 10 perusahaan penyedia jasa TV Berlangganan yang beroperasi di Indonesia – dan masih ada delapan operator lagi sedang menanti izin.

Operator TV Berlangganan itu dimiliki oleh juragan besar seperti First Media/Kabelvision (milik Grup Lippo), Indovision dan OK Vision (Grup MNC), Telkomvision (PT Telkom), IM2 (PT Indosat), B-Vision (Grup Bakrie), E-Vision (Keluarga Sariaatmadja yang sudah memiliki stasiun televisi SCTV).

Sepanjang tahun 2007 lalu, bisnis media TV Berlangganan antara lain juga diwarnai dengan sengitnya persaingan antar operator. Kehadiran Astro yang berbasis di Kuala Lumpur sempat mengundang kontroversi karena layanan televisi itu (jika menggunakan satelit) belum memiilki izin labuh (landing right).

Namun menurut Dirjen Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi, Departemen Komunikasi dan Informatika, Gde Widiadnyana Merati, Astro sudah mengantongi izin multimedia yang di dalamnya sudah mencakup izin beroperasi televisi berbayar. Akan tetapi izin itu tidak untuk layanan yang menggunakan sistem satelit, melainkan pakai kabel.

Di negeri asalnya, Malaysia, Astro memiliki lebih dari 1,4 juta pelanggan atau 33 persen dari seluruh pemilik pesawat televisi yang ada di negeri itu. Tapi kehadiran Astro ternyata belum mampu meningkatkan gairah masyarakat mengkonsumsi televisi berlangganan. Hingga saat ini, tercatat baru sekitar 1,5 persen keluarga di Indonesia yang berlangganan tv kabel. Angka itu adalah yang terendah di Asia. Sebagai contoh Singapura, Hong Kong dan Malaysia mempunyai lebih dari 30 persen rumah tangga di sana berlangganan tv berbayar. Bahkan negara berkembang lainnya seperti India dan Cina, penetrasinya lebih tinggi lagi, yaitu masing-masing 55 persen dan 32 persen dari jumlah keluarga yang memiliki televisi. Walau begitu ada juga yang optimis bahwa market size bisnis tv berlangganan di Indonesia bakal mencapai 10 juta pelanggan. Tentu, untuk mencapai angka itu perlu waktu yang tidak sebentar.

Untuk sementara operator televisi kabel di Indonesia masih dikuasai Indovision, Kabelvision (kini berganti nama menjadi First Media), Telkomvision dan IndosatM2.

Radio
Karakteristik pendengar di Indonesia (hasil penelitian Nielsen Media Research responden berusia 10 tahun ke atas di sembilan kota, yaitu: Jakarta, Bandung, Denpasar, Medan, Makassar, Palembang, Surabaya, Semarang dan Yogyakarta pada Mei 2007 lalu) dalam hal menghabiskan waktu mendengar radio dalam seminggu mencapai: 22 jam, 32 menit. Ini merupakan peningkatan jumlah waktu dalam mendengar radio, yang pada tahun sebelumnya (pada Mei 2006): 20 jam, 37 menit untuk setiap minggunya.

Sedangkan jangkauan media radio terhadap penduduk Indonesia mencapai 66,4 persen. Ini merupakan peningkatan dibandingkan tahun 2006 lalu sekitar 63,2 persen dari jumlah total penduduk Indonesia. Pertumbuhan jumlah radio di negeri ini memang semakin pesat. Bila pada tahun 2000 ada sekitar 800 stasiun radio, maka pada tahun 2006 diperkirakan sudah menjadi 1.800 stasiun radio.

Majalah Cakram memaparkan tentang kekuatan iklan di radio bila dipadukan dengan internet. Uji teknis secara secara on-line menunjukan recall iklan bertambah sangat signifikan ketika iklan radio dipadukan dengan iklan di internet – bila dibandingkan hanya beriklan melalui website. Ini merupakan salah satu kesimpulan studi yang dilakukan Harris Interactive Inc. yang dilansir Februari 2007 lalu. Pemikiran yang berkembang dalam dunia periklanan saat ini meyakini efektivitas penggunaaan media campuran (mixed media) dibanding hanya menggunakan media tunggal (single media).

Konvergensi radio dengan media digital seperti internet dan mobile phone menjadikan media ini dapat menjangkau lebih banyak khalayak sasaran. Program radio – yang tadinya memiliki keterbatasan jangakuan siar – kini bisa didengar lewat telepon selular dan internet dan menjadi tidak terbatas.

Di Jakarta, Bens Radio kembali menjadi stasiun yang paling banyak pendengarnya: 4,2 juta. Ini merupakan peningkatan dari tahun sebelumnya, yang tercatat 3,5 juta pendengar. Bagi Bens Radio prestasi ini merupakan tahun keenam berturut-turut (sejak 2001) sebagai stasiun radio swasta yang paling banyak didengar orang. Menyusul POP FM (2,5 juta pendengar) dan Megaswara (2,3 juta pendengar).

Di Bandung, Dahlia masih jadi primadona dengan jumlah pendengar terbanyak yang mencapai 426.000 pasang kuping. Di peringkat berikutnya adalah Rama (342.000 pendengar) dan 99ers (328.000 pendengar) yang menggeser Ardan (324.000).

Di Surabaya ada kelompok usaha stasiun radio Suzana yang berjaya dengan memiliki empat stasiun radio: Suara Giri yang menduduki peringkat pertama untuk pendengar terbanyak (sekitar 2,5 juta orang), Merdeka peringkat tiga (1.124.000 pendengar), Suzana peringkat empat (sekitar 1 juta pendengar) dan EBS FM peringkat delapan (dengan 596.000 pendengar).

Sedangkan, KIS FM di Semarang (227 ribu pendengar), Gamasi di Makassar (368 ribu) dan Most FM (305 ribu) di Medan, masing-masing menjadi ‘’raja’’ dan mendapat predikat sebagai stasiun radio dengan pendengar terbanyak di kotanya masing-masing.

Radio Republik Indonesia (RRI) adalah satu-satunya lembaga penyiaran publik – sejak September 2005 lalu – yang berfungsi sebagai sarana informasi untuk pendidikan, hiburan dan melestarikan budaya Indonesia. Di bawah pimpinan Parni Hadi, mantan wartawan LKBN Antara, yang menjabat Direktur Utama, lembaga penyiaran itu melakukan sejumlah gebrakan dalam hal program. Di antaranya menampilkan acara baru dialog interaktif seperti talkshow on-air secara nasional dengan tajuk Presiden Menyapa dan Bedah Korupsi.

RRI juga menyiarkan pemberitaan dalam 11 bahasa asing, di antaranya Bahasa Inggris, Arab, Jepang, Perancis, Spanyol, Korea dan Thailand.

Potensi pendengar RRI mencapai sekitar 200 juta orang yang tersebar di 58 kota-kota utama di Indonesia. Karakteristiknya: 47 persen pendengar pria, 53 persen pendengar wanita. Usia pendengar RRI ada sekitar 43% berkisar 15-45 tahun, dan sebagian besar berpendidikan SMA ke atas (60 persen).

Di beberapa kota besar, RRI punya pasar yang cukup kuat. Di Jogjakarta misalnya, radio yang punya slogan ‘’Sekali di Udara, Tetap di Udara’’ punya rating cukup tinggi, berada di peringkat lima setelah GCD FM, Persatuan, Tetjo Buntung dan Yasika. Sedangkan di Palembang ada di peringkat tujuh. Di Makassar dan Medan, RRI bertengger di posisi Sepuluh Besar stasiun radio pilihan pendengar di sana.

Persaingan antar stasiun telah memberi ruang inovasi dan inspirasi bagi para pengelolanya. Kini radio tak lagi mengemas program-program siaran secara umum. Mereka mulai menggarap segmentasi pasar secara khusus. Maka muncul stasiun dengan ceruk tertentu, mulai dari khusus musik dangdut, remaja, perempuan, bisnis, hingga yang khusus mengudarakan progam siaran berita melulu. Buat mereka yang berminat mendapatkan informasi atau berita misalnya ada Suara Surabaya (Surabaya) dan Elshinta (Jakarta). Atau mendengar namanya saja seperti FeMale (yang hadir di Jakarta dan Bandung), atau Kids Radio (Jakarta) sudah bisa ditebak sasaran pendengar dari stasiun radio tersebut.

Dengan adanya segmentasi ini, maka memudahkan pengiklan karena jelas target dan sasarannya. Menarik untuk dikaji selanjutnya tentang stasiun radio ceruk (segmented) di Indonesia yang terus berkembang.

Stasiun radio yang membentuk jaringan siaran masih menjadi tren seperti Elshinta (Jakarta) yang bisa di-relay oleh 35 stasiun radio lainya di kota-kota besar di Indonesia. Serta jaringan radio Sonora (milik Kelompok Kompas Gramedia) yang tersebar di tujuh kota: Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Palembang, Pontianak, Pangkal Pinang dan Solo.

Tapi radio jaringan yang ‘’terbesar di Indonesia’’ saat ini adalah 68H (berbasis di Jakarta), yang progamnya bisa di-relay oleh 445 stasiun radio yang tersebar di seluruh Indonesia. Tak cuma itu, radio ini juga memperluas jaringan siarannya ke Australia (direlai oleh sembilan radio di Australia), Thailand dan Timor Leste. Menurut laporan majalah Cakram yang mengutip sebuah perusahaan riset, pendengar 68H diperkirakan sekitar 13 juta

Media Cetak
Secara umum terlihat ada tren menurunnya minat baca di Indonesia yang semakin mengkhawatirkan. Berdasarkan data Nielsen Readership Study, angka minat membaca koran adalah 30% atau mencapai sekitar 11 juta orang di sembilan kota besar: Jabodetabek, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Palembang, Denpasar dan Makassar.

Tetapi koran bukanlah satu-satunya media yang mengalami penurunan jumlah pembaca. Majalah dan tabloid juga merasakan hal yang serupa. Majalah mengalami penurunan: dari 21% (pada tahun 2004) menjadi 18% (di awal tahun 2007); dan tabloid dari 22% (2004) menjadi 17% (2007).

Apa penyebabnya? Maraknya media elektronik, sehingga khalayak berpaling dari koran dan menonton televisi? Atau karena media cetak yang tidak dapat meningkatkan kualitasnya – seiring dengan tuntutan zaman? Seorang pengamat asing menilai bahwa sebagian besar artikel yang ditulis wartawan di media yang terbit di Indonesia adalah talking news. "There is no answer to the problem, and the articles are not comprehensive. Journalists are too lazy to go deeper," katanya. Boleh jadi ini memberikan kontribusi terhadap rendahnya minat baca (low readership) terhadap suratkabar di Indonesia – yaitu ratio 1:42 - satu suratkabar dibaca oleh 42 orang. Sementara Malaysia memiliki ratio 1:8 dan India 1:12.

Namun di tengah surutnya minat orang membaca, tapi koran lokal – yang terbit di luar kota Jakarta – kini justru semakin berkibar. Dari Sepuluh Besar koran di Indonesia dalam hal pendapatan iklan, delapan di antaranya adalah media lokal. Yaitu, Jawa Pos (Surabaya), Sumatera Express dan Sriwjaya Post (Palembang), Manado Post (Manado), Bali Post (Denpasar), Fajar (Makassar), Harian Independent (Jambi) dan Pikiran Rakyat. Dua koran terbitan Jakarta yang tersisa adalah: Kompas dan Media Indonesia.

Pendapatan iklan harian Kompas mengalami peningkatan dari Rp1,31 Triliun (pada tahun 2005 atau menguasai 17,5 persen pendapatan iklan seluruh koran di Indonesia) menjadi Rp1,35 Triliun (2006) – namun mengalami penurunan share dengan 15,1 persen. Perolehan iklan koran Media Indonesia mencapai Rp334,7 miliar (2006). Jumlah ini menurun dibanding dengan tahun sebelumnya yang memperoleh Rp386,8 miliar (2005). Itulah gambaran dua koran terbitan ibukota dan masih bercokol di Sepuluh Besar koran yang pendapatannya iklannya tinggi.

Sementara itu perolehan iklan koran-koran yang terbit di luar Jakarta mengalami peningkatan yang signifikan. Sebut saja Jawa Pos (koran yang terbit di Surabaya) yang mengalami peningkatan pendapatan iklannya sekitar 20 persen. Pada tahun 2006 lalu memperoleh Rp578,9 miliar, sedangkan pada tahun 2005 mendapat Rp463,7 miliar. Lalu Sriwijaya Post (terbit di Palembang) yang peningkatan perolehannya iklannya sekitar 50 persen dalam dua tahun terakhir. Pada tahun 2005 mendapat Rp136,3 miliar, dan setahun kemudian melonjak menjadi Rp238,9 miliar.

Tapi di antara koran-koran lokal yang ada, pertumbuhan pendapatan iklan yang paling spektakuler adalah Jambi Independent yang mendapat Rp225,8 miliar (2006) dan tahun sebelumnya Rp129,5 miliar (2005). Padahal, usia koran ini belum genap lima tahun, tapi sudah menyisihkan sejumlah koran lainnya di Sumatera yang sudah mapan dan bahkan berusia puluhan tahun seperti Analisa dan Waspada (terbit di Medan), Riau Pos (Pekanbaru), Singgalang (Padang) dan Lampung Post (Bandar Lampung).

Wajah persuratkabaran di Indonesia pada tahun 2007 ini, juga ditandai dengan lahirnya kembali (re-launching) Harian Indonesia, koran berbahasa Mandari yang pertama dan terbesar di negeri ini. Koran yang pertamakali terbit pada 12 September 1966 yang silam itu menjalin kerjasama dengan harian berbahasa Mandarin terbesar di Malaysia Sin Chew. Kelompok usaha media yang berada di belakang Sin Chew itu juga memiliki beberapa koran di Hongkong, Kanada dan di Amerika Serikat.

‘’Sinergi dengan koran Sin Chew diharapkan dapat membuat Harian Indonesia dapat mengakar sampai ke tingkat regional Asean,' kata Presiden Direktur Harian Indonesia, Erick Tohir, yang juga pimpinan kelompok usaha Mahaka Media – yang antara lain memiliki koran Republika dan JakTV. Sebelumnya Republika juga melakukan kerjasama pertukaran isi berita dengan koran Berita Harian – koran berbahasa Melayu yang terbit di Kuala Lumpur, Malaysia. Koran ini juga sukses menggalang kerjasama dengan The New York Times yang terbit di Amerika Serikat melalui kolom konsultasi bisnis dengan Jack dan Suzie Welch yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

Hadirnya Harian Indonesia jelas sangat membantu turis dan investor dari Cina yang kini mulai menyerbu Indonesia. Potensi pasar untuk koran berbahasa Mandarin tampaknya memang masih terbuka lebar. Saat ini ada sekitar 10 juta warga etnis Tionghoa di Indonesia yang fasih berbahasa Mandarin. Mereka tentu membutuhkan informasi yang berbahasa Mandarin dan dikemas sesuai dengan selera mereka.

Persaingan yang ketat menimbulkan gagasan baru dalam melakukan kampanye iklan. Terobosan itu dilakukan harian Warta Kota – milik Kelompok Kompas Gramedia. Koran terbitan Jakarta itu melakukan street happenings dengan menghadirkan sejumlah orang berdiri di pinggir jalan-jalan protokol di Jakarta sambil membaca koran Warta Kota. Aksi selama tiga hari di bulan Juni 207 lalu ini dilakukan pada saat jam-jam padat di pagi dan sore hari.

Happening arts ini merupakan bagian dari kampanye koran itu yang juga beriklan di media cetak dan media televisi. Hasilnya: lumayan! Kabarnya, tak lama setelah kampanye, oplah Warta Kota mengalami penambahan. Ini tentu merupakan ancaman serius bagi Pos Kota – yang selama ini menjadi ‘’raja’’ dengan pemberitaan yang khusus tentang seputar Jakarta dengan pembaca (readership) yang mencapai 1,338 juta orang setiap harinya. Sementara Kompas dan Jawa Pos masih unggul dalam hal jumlah pembacanya dengan karakteristik yang berbeda dengan Pos Kota.

Untuk kategori majalah, maka Femina masih menjadi media yang menarik untuk para pengiklan. Majalah tersebut menduduki peringkat pertama dalam pendapatan iklan dengan perolehan Rp74,5 miliar (2006) – dan ini merupakan penurunan dibandingkan tahun sebelumnya sekitar Rp86 miliar. Majalah Tempo menduduki peringkat kedua dengan pendapatan Rp68,9 miliar, dan diikuti dengan majalah franchise asal Amerika Serikat Cosmopolitan Rp47,7 miliar.

Sukses Femina ini antara lain karena mampu mengelola rubrik yang sesuai dengan keinginan pemasang iklan dan sekaligus menjawab kebutuhan informasi khalayak sasaran. Setiap tahunnya majalah ini menerbitkan edisi khusus dengan berbagai topik. Misalnya tentang ‘’Wanita Bekerja’’, ‘’Panduan Investasi Praktis’’ atau ‘Liburan’’. Inilah antar lain menjadi daya tarik bagi para pemasang iklan untuk memperkenalkan produk barang atau jasa kepada target market yang sesuai.

Untuk media cetak jenis tabloid, maka dua media yang diterbitkan oleh Kelompok Kompas Gramedia, yaitu Nova dan Bola berkibar dalam hal pendapatan iklan dan jumlah pembaca. Nova, tabloid untuk segmen wanita, tahun 2006 lalu, mendapat iklan senilai Rp93,8 miliar. Sedangkan Bola yang isinya tentang olahraga memperoleh Rp42,9 miliar. Berikutnya adalah Bintang Indonesia dengan perolehan Rp35,9 miliar. Dan diikuti Nyata – terbit di Surabaya – yang mampu mendapat Rp29,2 miliar.

Pada mulanya tabloid Nyata, yang hadir sejak 1991 dan menyasar pembaca perempuan, adalah media lokal. Namun dalam perkembangan pemasarannya, media itu sudah tembus, tidak hanya ke Jakarta tetapi juga beredar di negara tetangga seperti: Taiwan, Hongkong, Singapura, Brunei Darussalam dan Malaysia. Tabloid ini memang banyak dibaca dan digemari oleh para tenaga kerja (perempuan) Indonesia yang berada di negeri jiran tersebut.

Sementara untuk ukuran readership, maka Bola menjadi tabloid yang paling banyak memiliki pembaca: sekitar 1,5 juta orang. Sedangkan Nova dibaca oleh sekitar 1 juta orang. Berikutnya adalah Pulsa, tabloid yang menginformasikan tentang perkembangan telepon selular, yang dibaca hampir 900 ribu orang.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar