Jumat, 18 September 2009

MENGAPA Ganti Nama?

Ahmed Kurnia Soeriawidjaja

Apalah arti sebuah nama, ujar William Sheakspeare. Bunga mawar akan tetap harum, kendati ia berganti nama, kata pujangga besar asal Inggris itu.

Sheakspeare boleh saja berpendapat seperti itu. Namun bagi banyak orang - termasuk orang-orang Inggris sekalipun – nama menjadi begitu penting dalam kehidupan sehari-hari. Pemberian nama seorang anak yang baru lahir bahkan diikuti dengan acara ritual yang khusus. Karena melalui nama, disitulah terkandung makna dan harapan tentang masa depan kehidupan sang anak. Tak heran kalau peristiwa pemberian nama pada seorang anak, menjadi sama pentingnya dengan kelahiran itu sendiri. Bahkan, sering kita dengar ada anak yang terpaksa harus mengganti namanya, karena alasan sakit-sakitan, misalnya. Tentu dengan harapan setelah orangtuanya mengganti nama anaknya itu, maka penyakit yang diderita juga menghilang seiring dengan namanya yang sudah berganti.

Ini pernah terjadi pada kerabat istri saya. Orangtuanya memberi nama Fifi Kirana. Tapi karena Fifi yang Kirana ini sakit-sakitan, maka ia diberi nama baru: Fifi Afiah. Harapannya adalah supaya Fifi yang Afiah ini akan sehat wal’afiat, dan tidak lagi sakit-sakitan.

Lain halnya seorang aktivis dari sebuah perguruan tinggi di Bandung yang pada tahun 1980-an kerap keluar masuk tahanan polisi dan militer – karena ia dalam pergerakan mahasiswa melakukan kritik dan bersikap oposisi terhadap Pemerintah (baca: penguasa Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto). Kabarnya, ketika anak pertamanya lahir, ia beri nama Gempur Suharto. Bagi telinga sebagian orang, nama itu terdengar seperti punya konotasi politis. Kini, mantan aktivis mahasiswa itu sudah menjadi anggota DPR. Dan setelah Pak Harto lengser dari kekuasaan pada tahun 1998 lalu (setelah berkuasa di republik ini selama 32 tahun), saya belum mendengar apakah nama anaknya itu juga diganti. Wallahualam.

Artis (di dalam dan luar negeri) juga begitu: sering punya nama baru yang berbeda dengan nama yang tercantum di akta kelahirannya. Alasannya, karena pertimbangan komersial. Nama barunya itu terasa lebih akrab ditelinga pasar atau para penggemarnya – ketimbang nama aslinya. Misalnya saja penyanyi kondang Inul Daratista yang terkenal karena atraksi goyang ngebor-nya. Siapa nyana kalau nama aslinya Ainul Rohimah. Atau siapa sangka kalau Marjolein Tambajong yang biasa dipanggil Leince itu, ternyata kini dikenal sebagai Rima Melati. Atau bintang film cantik asal AS, Winona Ryder. Ia dilahirkan dengan nama Winona Laura Horowitz dari pasangan Cindy Istas dan Michael Howoritz. Nama Winona diambil dari kota kecil tempat kelahirannya Winona di Minnesota. Ketika ia melakukan debut di layar lebar pada tahun 1985 di film Lucas, sutradaranya yang bernama David Seltzer bertanya ingin menggunakan nama apa? Winona mengungkapkan ia ingin menggunakan nama Ryder, karena sang ayah sangat mengemari musisi bernama Mitch Ryder. Sejak itulah Winona menjadi Ryder, dan tidak lagi Winona yang Laura Horowitz.

Seperti halnya kerabat istri saya, atau para artis yang mengganti nama tadi, tentu ada juga alasan buat perusahaan yang mengubah nama atau logonya. Seperti PT Semen Cibinong Tbk yang sejak tahun 2006 berganti nama menjadi PT Holchim Indonesia Tbk. Tentu saja logo perusahaan dengan gambar pisau kujang yang biasanya menempel di kantong semen itu, kini sudah berubah dengan logo baru. Atau tengok PT Pertamina yang tidak mengubah namanya, namun mengubah logo perusahaan. Tadinya, perusahaan milik negara itu punya logo kuda laut. Kini logonya berubah menjadi sekilas tampak seperti huruf p (terdiri dari warna hijau, biru dan merah) yang berbentuk anak panah.

Bank BNI juga mengalami pergantian logo. Sebelumnya, logo BNI adalah kapal layar yang sedang menghadapi gelombang, mengarungi samudera. Tapi kini logonya berubah menjadi BNI yang didampingi dengan angka 46. Boleh jadi tradisi lama, yang selama ini dikenal sebagai ‘’BNI 46’’ merupakan aset yang hilang. Dan dengan logo baru itu, dengan angka 46 (diambil dari tahun 1946, tahun berdirinya bank tersebut) yang sudah dikenal itu merupakan angka keramat yang bisa membawa keberuntungan agar BNI tidak lagi terseret dengan berbagai masalah. Terakhir bank itu dikabarkan dibobol sebesar Rp1,7 triliun dengan menggunakan L/C fiktif.

Mungkin ada pembaca yang pernah mendengar perusahaan PT Inti Indorayon Utama yang beroperasi di Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. Dalam perjalanannya, perusahaan itu sarat konflik dengan masyarakat sekitar dan memakan biaya sosial yang tidak terhitung jumlahnya. Boleh jadi karena ingin ‘’mengambil jarak’’ dan meninggalkan masa lalunya itu, maka perusahaan itu ganti nama (dan tentu ganti logo) menjadi PT Toba Pulp Lestari.

Begitu juga yang dialami oleh PT Dipasena Citra Darmaja yang kini sudah berganti nama menjadi PT Aruna Wijaya Sakti. Dipasena adalah perusahaan penghasil udang yang terbesar di Asia yang dibangun oleh Syamsul Nursalim. Gara-gara Nursalim terbelit utang karena Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), maka Dipasena kemudian diserahkan kepada negara sebagai bagian dari pelunasan utang. Dan sejak Mei 2007 lalu, perusahaan itu dimiliki oleh kelompok usaha Charoen Pokphand setelah menang lelang.

Lalu, kenapa perusahaan ganti nama dan ganti logo? Maka alasannya bermacam-macam – seperti halnya orang ganti nama. Tapi secara umum dalih dibalik pergantian nama dan logo itu adalah karena adanya perpindahan kepemilikan atau porsi saham mayoritas yang berubah karena proses merger. Tentu pemegang saham yang mayoritas menginginkan perusahaan yang dimilikinya itu memiliki nama seperti yang dikehendakinya. Perubahan nama dan logo itu juga terjadi karena alasan ingin memberikan identitas baru perusahaan, atau ingin menampilkan citra baru perusahaan yang menjadi simbol atau bagian dari perubahan budaya korporat.

Logo adalah wajah dari suatu perusahaan, berfungsi sebagai pengenal atau jati diri perusahaan untuk dikenali dan ada ide yang terbentuk di masyarakat tentang perusahaan itu, dan secara visual membentuk citra perusahaan.

Sebenarnya tak mudah mengambil keputusan: mengubah nama dan logo perusahaan. Paling tidak perlu sebuah kajian khusus untuk memperhitungkan dampak manfaat dan mudharatnya. Misalnya mencari jawab atas pertanyaan berikut: Apakah nama berikut logo perusahaan yang lama masih menjadi asset yang intangible? Apakah sudah dikenal luas oleh masyarakat? Sebaliknya, apakah nama (dan logo) yang lama tidak lagi merupakan asset, tetapi sudah menjadi liability? Dan secara visual membentuk sebuah citra yang positif atau negatif? Apakah pergantian nama ini untuk menunjukkan bahwa perusahaan tidak lagi memiliki keterkaitan dengan pemilik lama? Apakah pergantian nama ini untuk ‘’menarik jarak” dari masa lalu perusahaan yang sarat dengan konflik sosial antara Inti vs Plasma? (belajar dari kasus PT Indorayon Inti Utama menjadi PT Toba Pulp Lestari atau PT Dipasena Citra Darmaja menjadi PT Aruna Wijaya Sakti). Lalu juga perlu diperhitungkan bagaimana dampaknya terhadap buyers atau suppliers, tentu juga terhadap stakeholders lainnya (termasuk karyawan dan plasma)?

Walhasil, kajian yang mengkalkulasi perlu tidaknya ganti nama dan ganti logo, termasuk dari faktor feng-shui (ini buat yang percaya), ternyata bukanlah pekerjaan mudah. Namun yang pasti, kalau toh terjadi pergantian (nama dan logo perusahaan), ya karena itu tadi: kita percaya bahwa Sheakespeare ternyata salah.

Ahmed Kurnia Sooeriawidjaja
Dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi
The London School of Public Relations - Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar